Sabtu, 06 November 2010

KISAH TERBENTUKNYA MERAPI

KISAH TERBENTUKNYA MERAPI
SEJARAH GEOLOGI

Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian :
PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu)
Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ± 700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan.

MERAPI TUA (60.000 - 8000 tahun lalu)

Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awanpanas, breksiasi lava dan lahar.

MERAPI PERTENGAHAN (8000 - 2000 tahun lalu)

Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan "de¬bris-avalanche" ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah Pasarbubar.

MERAPI BARU (2000 tahun lalu - sekarang)

Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra. Skema penampang sejarah geologi Merapi menurut Berthommier, 1990.


Peta menunjukkan sebaran endapan awanpanas Merapi 1911-2006. Hanya wilayah timur lereng yang bebas dari arah aliran awapanas dalam kurun waktu tersebut.

SEJARAH ERUPSI

Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian lemah. Tipe lain seperti Plinian (contoh erupsi Vesuvius tahun 79) merupakan tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat. Erupsi Merapi tidak begitu eksplosif namun demikian aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap erupsinya. Secara visual aktivitas erupsi Merapi terlihat melalui proses yang panjang sejak dimulai dengan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar dan awanpanas (pyroclastic flow).

Merapi termasuk gunungapi yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658.



Sejarah letusan gunung Merapi mulai dicatat (tertulis) sejak tahun 1768. Namun demikian sejarah kronologi letusan yang lebih rinci baru ada pada akhir abad 19. Ada kecenderungan bahwa pada abad 20 letusan lebih sering dibanding pada abad 19. Hal ini dapat terjadi karenapencatatan suatu peristiwa pada abad 20 relatif lebih rinci. Pemantauan gunungapi juga baru mulai aktif dilakukan sejak awal abad 20. Selama abad 19 terjadi sekitar 20 letusan, yang berarti interval letusan Merapi secara rata-rata lima tahun sekali. Letusan tahun 1872 yang dianggap sebagai letusan terakhir dan terbesar pada abad 19 dan 20 telah menghasilkan Kawah Mesjidanlama dengan diameter antara 480-600m. Letusan berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D.

Suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awanpanas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol. Awanpanas dan material produk letusan menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas elevasi 1000m. Pada saat itu bibir kawah yang terjadi mempunyai elevasi 2814m (;bandingkan dengan saat ini puncak Merapi terletak pada elevasi 2968m). Dari peristiwa-peristiwa letusan yang telah lampau, perubahan morfologi di tubuh Gunung dibentuk oleh lidah lava dan letusan yang relatif lebih besar. Gunung Merapi merupakan gunungapi muda.

Beberapa tulisan sebelumnya menyebutkan bahwa sebelum ada Merapi, telah lebih dahuiu ada yaitu Gunung Bibi (2025m), lereng timurlaut gunung Merapi. Namun demikian tidak diketahui apakah saat itu aktivitas vulkanik berlangsung di gunung Bibi. Dari pengujian yang dilakukan, G. Bibi mempunyai umur sekitar 400.000 tahun artinya umur Merapi lebih muda dari 400.000 tahun. Setelah terbentuknya gunung Merapi, G. Bibi tertimbun sebagian sehingga saat ini hanya kelihatan sebagian puncaknya. Periode berikutnya yaitu pembentukan bukit Turgo dan Plawangan sebagai awal lahirnya gunung Merapi. Pengujian menunjukkan bahwa kedua bukit tersebut berumur sekitar maksimal 60.000 tahun (Berthomrnier, 1990). Kedua bukit mendominasi morfologi lereng selatan gunung Merapi.

Pada elevasi yang lebih tinggi lagi terdapat satuan-satuan lava yaitu bukit Gajahmungkur, Pusunglondon dan Batulawang yang terdapat di lereng bagian atas dari tubuh Merapi. Susunan bukit-bukit tersebut terbentuk paling lama pada, 6700 tahun yang lalu (Berthommier,1990). Data ini menunjukkan bahwa struktur tubuh gunung Merapi bagian atas baru terbentuk dalam orde ribuan tahun yang lalu. Kawah Pasarbubar adalah kawah aktif yang menjadi pusat aktivitas Merapi sebelum terbentuknya puncak.

Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubar baru terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda dari gunung Merapi. Bukaan kawah yang terjadi pernah mengambil arah berbeda-beda dengan arah letusan yang bervariasi.

Namun demikian sebagian letusan mengarah ke selatan, barat sampai utara. Pada puncak aktif ini kubah lava terbentuk dan kadangkala terhancurkan oleh letusan. Kawah aktif Merapi berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan letusan yang terjadi. Pertumbuhan kubah lava selalu mengisi zona-zona lemah yang dapat berupa celah antara lava lama dan lava sebelumnya dalam kawah aktif Tumbuhnya kubah ini ciapat diawali dengan letusan ataupun juga sesudah letusan. Bila kasus ini yang terjadi, maka pembongkaran kubah lava lama dapat terjadi dengan membentuk kawah baru dan kubah lava baru tumbuh dalam kawah hasil letusan.
Selain itu pengisian atau tumbuhnya kubah dapat terjadi pada tubuh kubah lava sebelumnya atau pada perbatasan antara dinding kawah lama dengan lava sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kawahkawah letusan di puncak Merapi bervariasi ukuran maupun lokasinya. Sebaran hasil letusan juga berpengaruh pada perubahan bentuk morfologi, terutama pada bibir kawah dan lereng bagian atas. Pusat longsoran yang terjadi di puncak Merapi, pada tubuh kubah lava biasanya pada bagian bawah yang merupakan akibat dari terdistribusikannya tekanan di bagian bawah karena bagian atas masih cukup kuat karena beban material.

Lain halnya dengan bagian bawah yang akibat dari desakan menimbulkan zona-zona lemah yang kemudian merupakan pusat-pusat guguran. Apabila pengisian celah baik oleh tumbuhnya kubah masih terbatas jumlahnya, maka arah guguran lava masih dapat terkendali dalam celah yang ada di sekitarnya. Namun apabila celah-celah sudah mulai penuh maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan tumbuhnya kubah.

Sehingga pertumbuhan kubah lava yang sifat menyamping (misal, periode 1994 - 1998) akan mengakibatkan perubahan arah letusan. Perubahan ini juga dapat terjadi pada jangka waktu relatif pendek dan dari kubah lava yang sama. Pertumbuhan kubah lava ini berkembang dari simetris menjadi asimetris yang berbentuk lidah lava. Apabila pertumbuhan menerus dan kecepatannya tidak sama, maka lidah lava tersebut akan mulai membentuk morfologi bergelombang yang akhirnya menjadi sejajar satu sama lain namun masih dalam satu tubuh. Alur pertumbuhannya pada suatu saat akan mencapai titik kritis dan menyimpang menimbulkan guguran atau longsoran kubah. Kronologi semacam ini teramati pada th 1943 (April sampai Mei 1943).

Penumpukan material baru di daerah puncak akibat dari pertumbuhan kubah terutama terlihat dari perubahan ketinggian maksimum dari puncak Merapi. Beberapa letusan yang dalam sejarah telah mengubah morfologi puncak antara lain letusan periode 18221823 yang menghasilkan kawah berdiameter 600m, periode 1846 - 1848 (200m), periode 1849 (250 - 400m), periode 1865 - 1871 (250m), 1872 - 1873 (480 - 600 m), 1930, 1961.(sumber lengkap : http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-merapi&subpage=sejarah)

Minggu, 10 Oktober 2010

implementasi desentralisasi yang konsisten dengan visi pembangunan kehutanan

IMPLEMENTASI DESENTRALISASI YANG KONSISTEN DENGAN VISI PEMBANGUNAN KEHUTANAN NASIONAL BERKELANJUTAN
Oleh : Aqshan Shadikin N

Pendahuluan
Indonesia sedang menghadapi suatu proses perubahan mendasar dan pembaharuan demokrasi, termasuk membangun suatu hubungan yang lebih kuat antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Tahap transisi ini, bersama dengan dampak ekonomi dan sosial dari krisis ekonomi pada tahun 1997-1998, telah menciptakan suatu situasi yang rapuh dan tidak pasti. Gerakan reformasi telah mendorong perbaikan kehidupan politik, seperti upaya-upaya untuk menjaga kedaulatan nasional, meningkatkan peran dari seluruh pemangku kepentingan dan mengurangi dominasi pemerintah. Namun demikian, perubahan yang demikian merupakan sebuah proses yang panjang karena membutuhkan tidak hanya hukum perundang-undangan, tetapi juga perubahan dalam susunan kelembagaan dan pengelolaan pelayanan publik.
Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 telah mendorong implementasi desentralisasi pemerintah dalam waktu yang relatif singkat. Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, sistem tata kelola telah berubah tidak kurang dari enam kali, bolak balik dari sentralisasi ke desentralisasi, berdasarkan undang-undang No 22. Tahun 1999, yang efektif dilaksanakan pada 1 januari 2001. Namun, penyusunan perundang-undangan dilaksanakan secara tepat dan di bawah situasi transisi menyusul jatuhnya rezim sebelumnya karena perundang-undangan tidak lengkap dan tidak tepat. Beberapa bulan setelah ditetapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999, ditetapkan Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999. Implementasi kedua undang-undang ini telah menciptakan permasalahan bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab mengelola hutan dan sumberdaya hutan. Khususnya ada masalah yang berat antara pemerintah pusat dan badan-badan pemerintah daerah karena perbedaaan interpretasi dari terminologi desentralisasi. Kurangnya pemahaman, koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah telah membawa kepada salah presepsi dalam mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu, distribusi kewenangan dan peran telah menjadi suatu wilayah konflik diantara piha-pihak yang berkepentingan. Tambahan lagi permasalahan muncul karena kurangnya keterbukaan (transparansi) dan akuntabilitas dalam mengelola dan memlihara sumberdaya hutan sebagai suatu sistem pendukung kehidupan, dari pada hanya sekedar sebagai sumber kayu. Melihat kecenderungan diatas, perlu dilakukan reorientasi terhadap penerapan sistemdesentralisasi sektor kehutanan baik pusat maupun daerah. Dalam hal ini dalam menerapkan desentralisasi secara benar perlu kembali ke landasan berpijak yaitu mewujudkan hutan lestari dan rakyat sejahtera.
Undang-Undang dan Peraturan Daerah

Perbedaan persepsi dan pemahaman atas desentralisasi telah mengakibatkan konflik atas pengelolaan sumberdaya alam, khususnya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Bahwa saat ini telah terjadi perubahan besar dalam sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berorientasi kepada penyelenggaraan dengan menitikberatkan Otonomi Daerah. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang dijabarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 yang penjabarannya sampai saat ini sedang dalam tahap penyelesaian akhir. Dalam ketentuan UU No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan dinyatakan bahwa kewenangan Pemerintah terbatas pada penyelenggaraan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro. Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, perlu dipersiapkan 36 (tiga puluh enam) Surat Keputusan Menteri antara lain :
a. Yang bersifat kebijakan, yaitu penetapan berbagai kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, perijinan, tarif usaha pemanfaatan hutan, dan peredaran flora-fauna.
b. Yang bersifat penyelenggaraan dengan pertimbangan utama untuk mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara, serta keterkaitannya dengan berbagai komitmen internasional. Pertimbangan lainnya adalah bahwa batasan kawasan dan daerah aliran sungai, tidak saja bersifat lintas kabupaten/kota, tapi dapat bersifat lintas propinsi. Peranan Pemerintah tersebut di atas mempunyai tujuan:
1. Untuk menjamin kelestarian sumberdaya hutan berikut ekosistemnya.
2. Untuk meningkatkan efisiensi dan alokasi pemanfaatan.
3. Untuk menjamin distribusi manfaat dan keadilan.
4. Untuk pemberdayaan masyarakat sekitar.
5. Untuk meningkatkan daya saing produk dan jasa sumberdaya hutan.

Pemerintah Pusat berharap agar pemerintah kabupaten/kota dapat memberdayakan diri untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan bidang kehutanan pada wilayah administratifnya masing-masing, sehingga Pemerintah Daerah harus segera menyiapkan perangkat institusi sektor kehutanan dan menghindarkan masalah-masalah yang berkaitan dengan ego daerah dan tetap memperhatikan efisiensi dan kualitas sumberdaya hutan. Pemahaman kita tentang makna desentralisasi urusan kehutanan, hendaknya tidak kita jadikan ajang perlombaan oleh masing-masing daerah otonom dalam rangka mengumpulkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pemanfaatan hutan yang semena-mena. Apabila hal ini tidak kita pertimbangkan, maka sudah dapat dibayangkan, bahwa laju deforestasi seluas 1,6 juta ha per tahun akan meningkat luar biasa. Pemahaman terhadap bermacam permasalahan dari berbagai perspektif dan kepentingan terhadap desentralisasi urusan kehutanan, akan merupakan langkah awal yang sangat penting dalam rangka perumusan rencana kebijakan dan aktivitas kegiatan oleh setiap stakeholders yang peduli terhadap kelestarian hutan. Dengan kata lain desentralisasi urusan kehutanan perlu dijadikan momentum yang sangat baik untuk mencapai tujuan manajemen pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management).
Pembaharuan di Indonesia
Presepsi yang keliru berkaitan dengan implementasi desentralisasi di sektor kehutanan oleh pihak berwenang daerah terutama disebabkan oleh orientasi jangka pendek pengelola hutan, yang berkaitan dengan jangka panjang waktu jabatan pejabat pemerintah daerah, yaitu lima tahun. Hasilnya hutan diperlakukan sebagai suatu sumber kayu yang menghasilkan PAD (Pendapatan asli daerah) yang dibutuhkan bagi pembangunan lokal. Izin lokal atas penebangan kayu diberikan tanpa cukup mempertimbangkan prinsip-prinsip berkelanjutan, berakibat pada meningkatnya laju deforestasi. Desentralisasi sektor kehutanan dilihat sebagai upaya positif untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyakarat dan untuk mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, perbedaan seharusnya didiskusikan dalam dialog yang konstruktif secara transparan untuk mengahasilkan solusi yang disepakati para pemangku kepentingan.untuk menangani permaslahan kompleks sektor kehutanan saat ini, departemen kehutanan harus mengembangkan kebijakan sektor kehutanan. Kelima komitmen departemen tersebut adalah:
1. Memberantas pembalakan liar (illegal logging);
2. Mengendalikan kebakaran lahan dan hutan;
3. Rehabilitasi dan konservasi;
4. Restrukturisasi sektor kehutanan; dan
5. Memperkuat proses desentralisasi sektor kehutanan.

Lima prioritas tersebut dirancang untuk memadu para pemangku kepentingan kehutanan dalam menemukan solusi permasalahan pada skala nasional. Pendekatan desentralisasi dalam sektor kehutanan dilakukan melalui Program Kehutanan Nasional, suatu kerangka kerja kebijakan yang membutuhkan dialog multipihak diseluruh tingkat. Sebagai tambahan, sedang dilaksanakan juga dua program lintas sektoral, yaitu kehutanan sosial (social forestry) dan pengembangan sumberdaya manusia. Tujuan dari desentralisasi disektor kehutanan adalah untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat Indonesia dengan memberikan masyarakat lokal akses yang lebih baik terhadap sumberdaya hutan diwilayah mereka (Wandojo siswanto dan wahjudi wardojo, 2006). Namun demikian, akses harus sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan, yang harus direncanakan dan disebarkan secara luas kepada masyarakat lokal, dengan cara ini, dimasa yang akan datang, hutan yang dikelola dengan baik dapat mendukung kondisi yang lebih baik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.


Pengelolaan Kehutanan

Pada umumnya sorotan publik terhadap pengelolaan/pengusahaan sumberdaya kehutanan belakangan ini terfokus pada dua isu krusial, yaitu :
a. Masalah kelestarian sumberdaya alam (Natural Resources) yang merupakan input base bagi usaha kehutanan.
b. Masalah sosial budaya terutama sehubungan dengan konsekuensi pengusahaan suberdaya hutan terhadap masyarakat setempat, yang secara turun temurun telah mengelolanya. Faktor utama penyebab timbulnya dampak negatif tersebut adalah adanya kekeliruan dalam pemilihan paradigma pengelolaan hutan yang selama ini didasarkan pada paradigma mekanistik yaitu suatu paradigma dengan ciri-ciri : Berorientasi pada maksimalisasi manfaat jangka pendek, bersifat ekslusif,menekankan standarisasi/homogenitas produk ke depan pengelolaan kehutanan harus didasarkan pada paradigma ekologi yang mempunyai ciri : menghargai keanekaragaman sumberdaya alam, bersifat holistik (tidak parsial),menjaga kesimbangan antara pemanfaatan jangka pendek dan jangka panjang, bersifat tidak ekslusif tetapi memberi kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi, menghargai kearifan adat dan keadilan.
Dengan demikian diperlukan suatu kerangka dan arah kebijakan pengelolaan kehutanan yang didasarkan pada paradigma ekologi. Beberapa faktor serta isu penting dan mendasar untuk dipertimbangkan dalam merumuskan kerangka dan arah kebijakan pengelolaan kehutanan adalah:
1 Perubahan paradigma dalam pengelolaan kehutanan perlu segera diikuti dengan perubahan kelembagaan, hubungan kelembagaan, dan pengorganisasian dalam pengelolaan kehutanan. Perubahan tersebut diarahkan kepada membangun kerjasama antar berbagai stakeholder di sektor kehutanan termasuk antara pusat dan daerah sehingga terbentuk institusional net working yang efektif.
2. Dengan peran serta masyarakat tempatan, perlu segera diselesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengakuan atas penguasaan (property right) dan hak-hak adat terhadap kawasan hutan. Selanjutnya kearifan adat masyarakat tempatan dalam mengelola hutan secara lestari perlu mendapat tempat dan pengakuan, sebagai suatu proses untuk memperkuat kelembagaan di tingkat lokal melalui aktivitas community development.
Program Kehutanan Nasional merupakan kerangka kebijakan kehutanan komprehensif untuk pencapaian pengelolaan hutan lestari, berdasarkan pendekatan lintas sektoral yang luas pada semua tingkat, termasuk perumusan kebijakan, strategi dan rencana kegiatan, serta implementasi, pemantauan dan evaluasinya. Program-program tersebut diimplementasikan di dalam konteks situasi sosial-ekonomi, budaya, politik dan lingkungan di tingkat nasional dan regional. Program tersebut perlu diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan NFP adalah untuk menjamin konservasi, pengelolaan dan pembangunan hutan lestari untuk memenuhi kebutuhan lokal, regional, global, guna kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Inisiatif pelaksanaan Program Kehutanan Nasional telah dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Koordinator Consultative Group on Indonesia Forestry (CGIF) No. 606/Kpts/I-2/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pembentukan dua Gugus Tugas Penyiapan Penyusunan Program Kehutanan Nasional yaitu Gugus Skenario dan Gugus Proses. Kedua gugus tugas tersebut diharapkan bekerja berlandaskan paradigma baru perencanaan pembangunan kehutanan yang secara yuridis dituangkan dalam UU No. 41 Tahun 1999. Sebagai tindak lanjut sidang CGI IX, pada tanggal 1-2 Pebruari 2000, telah dikeluarkan Keppres No. 80 tahun 2000 tentang Komite antar Departemen Bidang Kehutanan (IDCF) yang antara lain bertugas merumuskan Program Kehutanan Nasional. Selain itu dalam rangka menyiapkan Program Kehutanan Nasional, telah disusun Kebijakan Makro Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan melalui penyusunan Rencana Stratejik (RENSTRA) untuk tahun 2001 – 2005 oleh Eks Dephutbun.

Implementasi dari Disentralisasi

Pembangunan berkelanjutan selalu di asosiasikan dengan pendekatan yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat lokal, serta meningkatkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan dan pembangunan lingkungan (Awang S, 2007). Pertimbangan pendapat ini adalah bahwa masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut akan terkena dampak pembangunan sehingga harus mampu mengantisipasi kemungkinan dampak negatifnya. Untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat lokal, diperlukan desentralisasi maupun dekonsentrasi proses pengambilan keputusan dari pemerintah pusat kepemerintah lokal
Hutan Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi, baik dilihat dari fungsi kawasan, fungsi ekologi, dan kehutanan sosial (social forestry) yang semuanya itu merupakan salah satu pilar untuk mendukung perkembangan kehutanan secara berkelanjutan. Departemen kehutanan sebagai mandatory pemerintah bertekad untuk memberantas pembalakan liar, mengontrol kebakaran hutan, merehabilitasi dan mengkonservasi sumberdaya alam, merestrukturisasi sektor kehutanan dan memperkuat proses desentralisasi kehutanan prioritas tersebut dirancang untuk memandu pemangku kepentingan (stakeholder) kehutanan dalam menyelesaikan permasalahan skala nasional. Program kehutanan Nasional, pendekatan yang diambil oleh departemen kehutanan bagi desentralisasi, membutuhkan dialog multipihak diseluruh tingkat. Namun demikian, penguasaan lahan (land tenure), tetapi merupakan suatu masalah: sejumlah pihak berwenang daerah menjual lahan masyarakat untuk memperoleh pendapatan, dan petani tanpa lahan ikut serta dalam praktek-praktek illegal dalam memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu, kepemilikan lahan tidak selalu berarti bahwa suatu komunitas dapat mengelolanya dengan berkelanjutan.
Mengambil suatu pandangan yang lebih luas terhadap krisis hutan dan memahami hambatan-hambatan sturuktural utama terhadap usaha membuat pengelolaan dan penggunaan kawasan hutan menjadi lebih berkelanjutan. Dalam abad ke 21 akan menuntut penanganan pada tiga rangkaian masalah: tata laksana hak milik hutan, pembagian kerugian dan keuntungan pengelolaan serta penggunaan kawasan hutan, dan proses politik untuk menetapkan kebijaksanaan kehutanan. Dalam laporan ini, kasus Indonesia dianalisa untuk mencerminkan munculnya konsesus ilmiah bahwa hutan disemua bagian dunia kurang lebih sedang mengalami kesulitan dan munculnya kesepakatan politik bahwa negeri-negeri utara tidak lagi menuding menciutnya hutan-hutan tropis tanpa juga melihat pada hutan mereka sendiri yang terancam, dan bahwa melindungi system iklim global itu akan mengharuskan Negara-negara selatan menaruh perhatian pada hutan-hutan diwilayah utara. Membincangkan kedua negeri penting yang memiliki hutan tersebut secara bersama-sama juga akan menjelaskan bahwa semua Negara yang memiliki hutan menghadapi sejumlah persoalan serupa.
Argument pokok tulisan ini ialah bahwa hutan di Indonesia diambang batas kehancuran, sehingga kebijaksanaan kehutanan itu perlu diubah, dan bahwa hambatan-hambatan besar di luar sektor kehutanan akan membuat sulit mengadakan perubahan tersebut. Tetapi suatu pandangan yang positif seperti apa kiranya pengelolaan kawasan hutan yang baik di Negara mana saja menggaris bawahi analisis tersebut. Menurut Hafild (1999), Pandangan itu berpangkal pada empat sendi, antara lain:
1. Keutuhan dan Kelanjutan Ekologi : kekayaan hutan negeri tersebut memuat sampel-sampel cukup lengkap mengenai segala jenis hutan penting yang dilindungi di wilayah-wilayah yang cukup besar dan cukup berhubungan untuk mendukung berbagai fungsi lingkungan maupun jasa-jasa yang diberikan oleh hutan. Diantaranya, pemeliharaan fungsi daur ulang zat hara yang penting; perlindungan iklim mikro dan iklim setempat; dan pemisahan serta penimbunan karbon.
2. Penggunaan Produk dan Jasa Hutan oleh Manusia secara Berkelanjutan dan Adil; sebagian dari kekayaan hutan itu dilindungi secara ketat atau hanya digunakan demi penelitian ilmiah, pengambilan flora dan fauna tradisonal secara terbatas, atau wisata alam yang tidak merusak. Wilayah-wilayah lain dibiarkan dalam tudung hutan selama-lamanya, tetapi menghasilkan berbagai macam barang dan jasa ekonomi, mulai dari kayu olahan dan produk kayu lain sampai kemanfaat wisata alam dan sumber daya plasma nutfah bagi pertanian, obat-obatan dan bioteknologi dalam kegiatan industry tanpa merugikan jasa-jasa ekologi. Setepatnya bagaimana wilayah-wilayah hutan itu digunakan tergantung pada inventarisasi ciri-ciri ekologi, faktor-faktor sosial dan faktor-faktor demografi, serta potensi ekonomi. Biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi baik perlindungan maupun produksi hutan sama-sama dipikul masyarakat setempat, sektor swasta, dan pemerintah.
3. Pengelolaan Terpadu pada Skala yang Tepat: Hutan dikelola dalam suatu kerangka kerja regional perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan yang memperhitungkan permukiman manusia sekitarnya, tanah-tanah pertanian dan berbagai macam kegiatan ekonomi. Pertimbangan-pertimbangan ekologi dan sosial menentukan ukuran wilayah pengelolaan. Wilayah itu cukup luas untuk mempertahankan integritas proses ekologi di situ dan untuk mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang memahami, mengelola, dan memanfaatkan kawasan hutan serta sumberdaya yang terkait. Tetapi wilayah itu cukup kecil bagi penduduknya hingga dapat disebut sebagai rumahnya. Dalam kerangka kerja ini, pemerintah, masyarakat, perusahaan dan kepentingan-kepentingan lain bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan baik akan tanah Negara maupun tanah swasta dan mengatasi masalah-masalah penggunaan lahan. (para ahli kehutanan dan “sektor kehutanan” masih memainkan peran penting, tetapi mereka sekarang bagian dari sebuah tim, bukan ahli tersendiri yang memegang monopoli atas keputusan-keputusan mengenai hutan.)
4. Keikutsertaan yang Adil dan Bijaksana oleh semua Pihak yang berkepentingan: Dalam keputusan-keputusan mengenai pengelolaan dan kebijaksanaan kehutanan, entah pada tingkat regional maupun tingkat lain. Semua pihak yang berkepentingan mempunyai kewenangan dan hak atas informasi dan partisipasi. Keputusan dibuat melalui suatu dialog terus-menerus. Informasi lengkap tentang masalah-maslah yang dihadapi sampai kepada semua peserta tepat pada waktunya dan dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh semuanya. Ketidakmerataan yang memang ada pada persoalan Informasi dan kekuatan melakukan perundingan di antara peserta perusahaan besar dibandingkan dengan petani setempat, misalnya diakui dan pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat yang menjadi perantara bekerja untuk memperkuat kemampuan kelompok lemah maupun pinggiran guna membela kepentingan mereka sendiri. Keadaaan khusus dan klaim jangka panjang masyarakat pribumi, yang secara tradisional tinggal dihutan, atau bergantung pada hutan dipertimbangkan secara jelas dalam pembuatan keputusan dan perundang-undangan.
Dampak Kerusakan Hutan
Hutan Indonesia berada dalam situasi krisis dan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Pembalakan hutan, baik yang legal maupun ilegal, tidak terkontrol dan telah menyebabkan kerusakan hutan yang masif di hampir seluruh kawasan hutan Indonesia. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa tingkat deforestasi saat ini telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun. ''Jumlah ini telah meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Ini berarti Indonesia kehilangan hutannya seluas 7,2 hektare setiap menitnya," Dalam pembalakan hutan yang merusak ini, tidak saja telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa endemik serta semakin merosotnya kualitas sumber daya Indonesia. Namun juga menghasilkan seri bencana ekologi di seluruh Indonesia, seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan, yang merenggut ratusan korban jiwa setiap tahunnya. kehidupan lebih dari 40 juta masyarakat adat dan lokal yang hidupnya tergantung langsung pada sumber
daya hutan terus memburuk dan miskin akibat kehancuran hutan tersebut.
Berbagai upaya penyelamatan hutan Indonesia kenyataannya belum berhasil
karena tidak pernah mengatasi akar permasalahan kehutanan di Indonesia,
seperti korupsi, tidak diakuinya hak-hak masyarakat adat dan banyaknya
industri-industri kayu bermasalah. Di tengah krisis ini, hanya solusi radikal yang mampu menghentikan kerusakan tersebut, yaitu dengan memberikan ruang ekologi dan kesempatan hutan untuk bernafas dan membenahi pengelolaan sumber daya hutan yang lebih berkelanjutan.seperti halnya jeda dan pengurangan pembalakan hutan dapat menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa dari kehancuran total, serta menjadi solusi bagi bencana ekologi saat ini dan menyelamatkan jutaan dolar pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan untuk biaya penanganan bencana-bencana yang terjadi dalam lima tahun terakhir ini. Jeda pembalakan hutan juga dapat menyelamatkan kehilangan devisa dari pencurian kayu. "Saat ini, 80 persen penebangan kayu adalah ilegal, sehingga sebenarnya jeda pembalakan hutan tidak akan merugikan ekonomi Indonesia, malah justru akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang. Jeda pembalakan hutan ini akan menyelamatkan hilangnya devisa hingga US$1 miliar dari pembalakan haram, pemerintah harusnya mengembangkan skema pengalihan lapangan kerja penebangan hutan ke dalam program rehabilitasi hutan dengan menggunakan dana rehabilitasi hutan.
Selama 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan lebih dari 40 persen
dari tutupan hutannya (WWF, 2002). Meskipun kepedulian masyarakat meningkat
terhadap permasalahan lingkungan dan sosial, terutama mengenai kerusakan
dan kehilangan hutan, laju kerusakan hutan masih saja meningkat. Hal ini
tercermin dari laju kerusakan hutan dalam lima tahun terakhir yang mencapai
3,6 juta hektare per tahun. pemerintah harus lebih banyak belajar dari berbagai aspek terkait dari program rehabilitasi hutan di masa lalu yang terbukti tidak efektif dikarenakan hanya melakukan penanaman pohon tanpa diikuti dengan pengawasan dan manajemen pasca tanam." Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, pada 21 Januari 2004, di Gunung Kidul,Yogyakarta harus didasarkan pada upaya yang nyata dan terintegrasi yang melibatkan semua pihak dalam konteks pembangunan kehutanan berkelanjutan dan desentralisasi. Berdasarkan pengamatan di lapangan pada tahun sebelumnya, pemerintah sebaiknya tidak menjadikan GNRHL sebagai upaya yang sentralistik, dengan hanya menyediakan bibit ke kabupaten-kabupaten yang hutannya akan direhabilitasi. Pemerintah harus memastikan agar GNRHL tidak hanya menjadi sumber
pendapatan bagi partai politik dan pihak lain, atau hanya menjadikan GNRHL
semata-mata sebuah proyek. Menurutnya, GNRHL harus dikelola secara transparan dalam hal administrasi,keuangan serta secara tepat memilih lokasi dan jenis pohon yang akan digunakan. Pemilihan lokasi dan jenis pohon merupakan faktor kunci bagi keberhasilan GNRHL. Beberapa lembaga yang tergabung dalam pelestarian lingkungan hidup seperti halnya WWF Indonesia juga mendesak pemerintah untuk tidak mengabaikan inisiatif ataupun langkah lain yang diperlukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Upaya-upaya tersebut termasuk pemberantasan kejahatan kehutanan dan penanganan pembalakan haram, mempromosikan sertifikasi, memfasilitasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan menghentikan konversi hutan.


Program Kehutanan Nasional
Telah diperkenalkan konsep program Kehutanan Nasional, dan kebijakannya sedang dalam tahap awal penyusunan. Dengan desentralisasi, partisipasi multipihak dianggap penting dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan; sehingga semakin besar kesadaran akan perlunya melibatkan para pemangku kpentingan dalam proses kebijakan. Program kehutanan Nasional telah diterima sebagai kerangka kerja acuan bagi pengelolaan hutan berkelanjutan. Konservasi dan pembanguan dari seluruh tipe hutan diharapkan efektif dalam memecahkan permasalahan lingkungan hidup yang ada. Program ini juga diakui sebagai alat, khususnya dalam mencapai pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan secara umum mencapai pembangunan berkelanjutan. Tantangannya terletak pada bagaimana proses ini dapat diimplementasikan secara efektif. Variasi kepentingan yang cukup luas diantara para pemangku kepentingan dan ketimpangan pengetahuan diantara mereka adalah faktor-faktor yang membutuhkan perhatian khusus dalam proses partisipatif. Untuk menjamin transparansi dalam proses dan keadilan pembagian keuntungan, harus dikembangan suatu mekanisme yang tepat. Lebih jauh, dibutuhkan skema penyelesaian konflik karena beragamnya latar belakang dan kepentingan dari pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan.

Strategi Implementasi
Mempertimbangkan seluruh hambatan dalam mengimplementasikan desentralisasi disektor kehutanan, dibutuhkan upaya-upaya dan strategi diantaranya adalah melaksanakan program Pembangunan Nasional dan Rencana Pembangunan Tahunan berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Hal ini juga harus diikuti dengan implementasi yang tepat atas lima prioritas Departemen Kehutanan di seluruh tingkat, mengembangkan dialog dan komunikasi yang efektif diantara pemangku kepentingan kehutanan, termasuk badan-badan pemerintah disemua tingkat, lembaga legislatif, Universitas, ornop, sektor swasta dan perwakilan dari masyarakat adat, dalam mengimplementasikan Program Kehutanan Nasional, menyusun peraturan-peraturan pemerintah yang relevan sebagai penjabaran undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya, mengembangkan standar dan kriteria bagi pengelolaan hutan berkelanjutan, dan pada saat yang sama meningkatkan kapasitas kelembagaan termasuk juga sumberdaya disektor kehutanan, membangun citra yang baik dalam pembangunan kehutanan dengan membangun komunikasi dua arah khususnya dengan media massa, meningkatkan kerjasama dengan pihak donor (lembaga-lembaga internasional) bagi pengelolaan hutan berkelanjutan dan menegakkan pelaksanaan undang-undang kehutanan dan undang-undang lain yang relevan untuk mencegah praktek-praktek kehutanan illegal.

Kesimpulan
Desentralisasi adalah persoalan lintas sektor, relevan dengan beragam aspek dari pengelolaan hutan secara berkelanjutan, yang mengaitkan apa yang hendak dicapai secara berkelanjutan pada tingkat lokal dengan tujuan global seperti dijelaskan dalam Tujuan Pembangunan Millenium PBB (UN Millenium Development Goals-MDG). Implementasi desentralisasi di sektor kehutanan berada dalam tahapan permulaan, dan perkembangannya lambat karena kebijakan dan peraturan yang saling kontradiktif. Persepsi dan pemahaman yang berbeda atas semangat desentralisasi dapat diselesaikan secara perlahan dengan mengembangkan mekanisme dialog yang cepat, selain dengan membangun konsesus dan meningkatkan kapasistas. Program kehutanan nasional dapat digunakan sebagai suatu kerangka kerja yang efektif. Persiapan dari kebijakan dan peraturan-peraturan, selain juga panduan, kriteria dan indikator, perlu dipercepat untuk menjaga desetralisasi sektor kehutanan agar tetap berada dijalurnya.
Indonesia akan melanjutkan mengorganisasikan konsultasi dengan pemangku kepentingan lokal dan menekankan arti pentingnya hutan bagi generasi saaat ini dan generasi yang akan datang. Bencana alam yang baru-baru ini terjadi sebagian disebabkan oleh pembangunan dan pengelolaan (sektor) kehutanan yang tidak tepat telah turut memperkuat pesan tersebut, dan diyakini bahwa pemangku kepentingan lokal akan secara perlahan mengimplementasikan pengelolaan hutan dalam cara yang lebih berkelanjutan.

Daftar pustaka

Awang, S. 1991. Analisis Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Laboratorium Ekologi Sosial dan Politik SDH. Jurusan Manajemen Hutan.Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Barber,C.V. and Johnson,N.C. 1999. Menyelamatkan Sisa Hutan Di Indonesia dan Amerika serikat. Dalam Hafild, E (eds). Unsur-unsur Pengelolaan Kawasan Hutan yang Berkelanjutan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Hakim L, dan Rumboko L. 2003. Dampak Desentralisasi Terhadap Sektor Kehutanan. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung
Siswanto W dan Wardojo W.2006. Desentralisasi Sektor Kehutanan: Pengalaman Indonesia. Dalam Resosudarmo dan Colfer, C.J.P. (eds). Politik desentralisasi Hutan, kekuasaan, dan rakyat. Pengalaman di berbagai Negara. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Walhi, 2004. Kondisi Hutan Indonesia Memprihatinkan. Communities and Environment, Jakarta.

Sabtu, 10 Juli 2010

konservasi Alam dari sudut pandang religius

Manusia adalah mahkluk Allah yang mempunyai bentuk fisik yang paling sempurna, dilengkapai dengan jiwa yang memungkinkan ia dapat mencapai tingkat spiritualitas yang mulia. Pada tempatnyalah ia memperoleh kedudukan sebagai leader (khalifah), pemimpin dibumi ini (QS 2: 30). Ia berhak memimpin dunia dengan satu motivasi yaitu sebagai Pengabdi (abid) pada sang pencipta segenap alam semesta ini (lihat QS 51 : 56). Mengabdi kepada sang pencipta dengan cara melakukan pengelolaan terhadap setiap sumber daya alamyang diamanatkan-Nya kepada manusia dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kesejahteraan mahluk-mahluk lain di bumi ini.
Agar tugas berjalan baik, manusia membutuhkan ilmu yang membahas tentang mahluk-mahluk didunia ini. Penelitian ini, harus dilakukan dengan cara sisitimatis, berlangsung terus, dan tercatat dengan baik sebagai kumpulan ilmu. Ilmu pengetahuan alam dan kehidupan sebenarnya terdapat dalam pemahaman manusia terhadap dunia empiria, dunia yang tunduk pada pengamatan manusia. Ilmu pengetahuan lalu dianggap sebagai pemahaman terhadap sunatulloh yang ada dialam semesta ini. Masih banyak lagi sunatullah untuk dipelajari, seperti banyaknya dunia empiris yang harus diamati. Ini merupakan tantangan bagi manusia. Manusia harus mempelajari seluruh lingkungan hidup yang ada disekelilingnya, karena ini adalah sunatullah, supaya ia mampu mengemban tugas sebagai leader atau khalifah (pemimpin) dibumi ini.
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Lingkungan Hidup
Ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasikan dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang sistimatis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan kualitas pemikiran dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti halnya bola salju, yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan manusia tahu lebih banyak mengenai alam semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran dan karyanya yang selanjutnya membuat ilmu pengetahuan berkembang lebih pesat lagi.
Tanggung jawab manusia untuk memelihara lingkungan hidup diulang berkali-kali, larangan merusak lingkungan dinyatakan dengan jelas. Peranan dan pentingnya air dalam lingkungan hidup juga ditekankan. Yang lebih penting lagi ialah peringatan mengenai kerusakan lingkungan hidup yang terjadi karena pengelolaan bumi dengan mengabaikan lingkungan sekitar.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menginformasikan tentang ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan hidup antara lain sebagai berikut ;
“Dan apabila dikatakan pada mereka : ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan dimuka bumi’ mereka menjawab : ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS : 2 :11).
“Dan diantara mereka ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan diperselisihkannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hati, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (darimu) ia berjalan dibumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dia merusak tanam-tanaman dan binatang-binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS 2 : 204-205)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut desebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan pada mereka sebagai dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)” (QS 30 : 40)

Konservasi

Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, (en)Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.[1]

Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah [2]:

  • Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
  • Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam
  • (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau transformasi fisik.
  • Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
  • Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.


Di Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan, Konservasi [sumber daya alam hayati] adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Cagar alam dan suaka margasatwa merupakan Kawasan Suaka Alam (KSA), sementara taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Cagar alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka margasatwa mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwanya.

Taman nasional mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman hutan raya untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Taman wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

Konflik

Di ekosistem hutan, biasanya konflik konservasi muncul antara satwa endemik dan pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Karena habitatnya menciut dan kesulitan mencari sumber makanan, akhirnya satwa tersebut keluar dari habitatnya dan menyerang manusia. Konflik konservasi muncul karena:

  1. Penciutan lahan & kekurangan SDA (Sumber Daya Alam)
  2. Pertumbuhan jumlah penduduk meningkat dan permintaan pada SDA meningkat (sebagai contoh, penduduk Amerika butuh 11 Ha lahan per orang, jika secara alami)
  3. SDA diekstrak berlebihan (over exploitation) menggeser keseimbangan alami.
  4. Masuknya/introduksi jenis luar yang invasif, baik flora maupun fauna, sehingga mengganggu atau merusak keseimbangan alami yang ada.

Kemudian, konflik semakin parah jika :

  1. SDA berhadapan dengan batas batas politik (mis: daerah resapan dikonversi utk HTI, HPH (kepentingan politik ekonomi)
  2. Pemerintah dengan kebijakan tata ruang (program jangka panjang) yang tidak berpihak pada prinsip pelestarian SDA dan lingkungan.
  3. Perambahan dengan latar kepentingan politik untuk mendapatkan dukungan suara dari kelompok tertentu dan juga sebagai sumber keuangan ilegal.


Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:

  • Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/'tropical rain forest' yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai)
  • Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus: endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
  • Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
  • Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
  • Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
  • Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).

Kebijakan

Di Indonesia, kebijakan konservasi diatur ketentuannya dalam UU 5/90 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini memiliki beberpa turunan Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya:

  1. PP 68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
  2. PP 7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa
  3. PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL
  4. PP 36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam (TWA).

Catatan kaki