Selasa, 04 Januari 2011

PENDUGAAN EROSI DAN EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN WILAYAH SUB DAS GIRINDULU KABUPATEN PACITAN JAWA TIMUR


BAB I.      PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang


Kerusakan sumberdaya alam hutan (SDH) yang terjadi saat ini telah menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai (DAS) seperti tercermin pada sering terjadinya erosi, banjir, kekeringan, pendangkalan sungai dan waduk serta saluran irigasi. Tekanan yang besar terhadap sumberdaya alam oleh aktivitas manusia, salah satunya dapat ditunjukkan adanya perubahan penutupan lahan yang begitu cepat.
DAS merupakan suatu satuan hidrologi. DAS menampung air, mengagihkan (distribusi) air tampungan lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu tubuh air berupa danau atau laut. DAS menjadi loka (site) kelangsungan daur hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfir dan tubuh air bumi dapat berjalan secara langsung, atau lewat peranan DAS. Terjadi pula hubungan hidrologi langsung antara DAS dan atmosfir.
Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik yang cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang darat (landscape) khas di berbagai wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di dalam DAS dapat dikaji berdasar pertukaran bahan dan energi.
DAS merupakan suatu satuan geomorfologi yang bersifat dinamik sekali, dibentuk oleh proses-proses fluviatil dan memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua golongan proses yang saling berlawanan. Proses yang satu ialah degradasi di daerah hulu dan proses yang lain ialah agradasi di daerah hilir. Dengan demikian ada proses pengalihan dari hulu ke hilir. Salah satu kesudahan (result) morfogenesa penting semacam ini adalah pembentukaan bentang tanah `(soilscape) atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap DAS
Jumlah penduduk yang terus berkembang, sementara lapangan kerja sangat terbatas, telah mendorong masyarakat memanfaatkan setiap jengkal lahan untuk memperoleh produksi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup. Permasalahan degradasi lahan timbul, terutama oleh erosi tanah, apabila pemanfaatan lahan ini dilakukan pada daerah berlereng tanpa memperhatikan kemampuan lahannya. Aktivitas penggunaan lahan demikian tidak saja merugikan wilayah setempat (on site) tetapi juga menjadikan derita di wilayah hilirnya (off site). Proses ini terangkai dalam sistem aliran sungai yang berjalan mengikuti kaidah alami (proses hidrologis) yang tidak terikat oleh batas administrasi. Memperhatikan hubungan proses hulu dan hilir tersebut maka wilayah daerah aliran sungai (DAS) bisa digunakan sebagai satuan (unit) wilayah perencanaan, analisis dan pengelolaan.
Lahan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga masing-masing lahan memiliki kemampuan lahan yang berbeda. Kesalahan dalam pengelolaan lahan dapat menimbulkan kerusakan lahan itu sendiri dan lebih lanjut dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Selama berabad-abad, ekosistem telah mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Pemulihan dan perlindungan daerah aliran sungai (DAS) merupakan jaminan terbaik bagi peningkatan kesejahteraan sebagian besar penduduk. Di banyak negara, memperoleh dan menggabungkan akses dan kontrol atas sumberdaya alam  dari DAS merupakan hal mendasar bagi kelompok masyarakat yang secara sosial-ekonomi kurang beruntung , yang menggantungkan diri  secara langsung pada sumber daya alam demi kehidupan sehari-hari mereka. 
Untuk menentukan pola pemanfaatan lahan perlu dilakukan evaluasi lahan. Hasil evaluasi lahan memberikan alternatif penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat digunakan secara lestari, Evaluasi lahan merupakan hal yang penting dalam perencanaan penggunaan lahan.  Evaluasi lahan  menyajikan seperangkat data obyektif yang dapat membantu dalcam pengambilan keputusan dalam bidang perencanaan sehingga lahan dapat digunakan secara lebih efisien. Diharapkan kejadian-kejadian seperti perubahan lahan pertanian beririgasi untuk penggunaan perkotaan, permukiman atau indutri dapat dihindari.
Evaluasi kemampuan lahan adalah salah satu bentuk evaluasi lahan yang dapat dilakukan untuk memberikan input dalam bentuk arahan atau rekomendasi pada kegiatan perencanaan tataguna lahan. Evaluasi kemampuan lahan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan tentang pola pemanfaatan lahan berdasarkan karakteristik fisik dan kemampuan lahan tersebut. Analisis ini juga memberikan informasi awal terhadap dampak negatif pemanfaatan lahan, sehingga lebih lanjut dapat menjadi suatu perangkat evaluasi terhadap suatu perencanaan tataguna lahan.
DAS Girindulu terdapat di 3 kabupaten, dengan daerah dominan berada di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Di sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Ponorogo, di sebelah Timur dibatasi Kabupaten Trenggalek dan di sebelah Selatan dibatasi oleh lautan Indonesia. 
Kabupaten Pacitan mempunyai karakteristik tanah berkapur dengan kategori lahan kritis menempati wilayah yang cukup luas. Sebagian wilayah Pacitan berada di hulu DAS Bengawan Solo, dengan tingkat kerawanan erosi sangat tinggi. Kondisi lahan sebagian besar berbukit dan bergunung dengan kemiringan sangat curam (>45%). Di daerah hulu sebagian besar terdiri dari batuan metamorf dengan tanah Entisol, sedangkan di daerah hilir sebagian berbatuan sedimen kapur dengan bentuk lahan didominasi oleh dataran dan deposit Alluvial- Colluvial.
Memperhatikan kondisi tersebut, maka diperlukan upaya penelitian ilmiah yang dapat memberikan informasi tentang kemampuan lahan dan tingkat erosi untuk menentukan arahan fungsi pemanfaatan lahan di wilayah tersebut. Hasil penelitian tersebut juga dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan bagi pihak-pihak terkait dalam perencanaan tataguna lahan di wilayah Sub DAS Girindulu

1.2.      Perumusan Masalah

            Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan berpotensi besar menimbulkan bahaya erosi dan penurunan produktifitas lahan. Erosi yang terjadi di wilayah Sub DAS Girindulu dapat meningkatkan kerentanan banjir di wilayah hilir. Upaya antisipasi dalam menekan  laju erosi pada wilayah dengan karakteristik fisiografis perbukitan dapat dilakukan melalui upaya pengelolaan lahan yang bijaksana. Mengingat sebagian penduduk yang berada di wilayah tersebut merupakan petani, maka perlu dirumuskan arahan fungsi pemanfaatan lahan dengan pendekatan kemampuan lahan dan tingkat erosi.
            Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah kemampuan lahan di daerah penelitian?
2.      Apakah penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Girindulu saat ini telah sesuai dengan kemampuan lahannya?
3.      Bagaimana tingkat erosi di wilayah Sub DAS Girindulu ?
4.      Bagaimana pola pemanfaatan lahan ideal di wilayah Sub DAS Girindulu  ditinjau dari tingkat erosi dan kemampuan lahannya ?
1.3.      Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Mengevaluasi kemampuan lahan di wilayah Sub DAS Girindulu
2.      Mengkaji kesesuaian antara penggunaan lahan saat ini dengan kelas kemampuan lahan di wilayah Sub DAS Girindulu
3.      Melakukan pendugaan erosi dan tingkat erosi yang diperbolehkan.
1.4.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1.      Memberikan informasi tentang kemampuan lahan dan tingkat erosi di wilayah Sub DAS Girindulu serta hubungannya dengan pemanfaatan lahan saat ini.
2.      Dari aspek ilmu pengetahuan dapat menambah wawasan dalam ilmu kehutanan khususnya bidang pengelolaan DAS
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.      Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catchment area atau DTA) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (air, tanah, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Asdak (2007).
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang berfungsi menangkap  air dalam bentuk apapun seperti hujan, salju atu embun dan dialirkan melalui tubuh air berupa sungai atau danau. Daerah Aliran Sungai (DAS) digambarkan oleh pengangkatan berupa punggung bukit yang lebih tinggi dan terpisah dari wilayah lain di sekitar DAS lainnya. (DeBarry, 2004)
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang secara fisik dan alamiah membentuk cekungan sehingga air hujan mengalir menuju suatu titik pengeluaran. DAS dibatasi oleh alam, batas DAS dengan mudah dapat dibuat berdasarkan peta topografi. Di dalam DAS terjadi interaksi antara sumberdaya alam hayati (bio resource) dan sumberdaya alam non hayati. Dalam konteks ini DAS juga bisa dikatakan sebagai suatu ekosistem. Manusia sebagai bagian dari ekosistem DAS. Dengan karakter  manusia yang bersifat homoeconomicus mempunyai posisi yang paling “superior” dan mampu mengubah bentuk interaksi tersebut. Oleh karena itu, DAS bukan merupakan daerah yang berdiri sendiri. Dengan demikian untuk memahami phenomena penurunan kemampuan daya dukung DAS, perlu dilihat secara holistik, dalam konstelasi skala global, regional (nasional) dan lokal (DAS) (Susanto, 2008).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu daerah yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single outlet). Suatu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan (Sarief, 1985).
 Suripin (2002) mengemukakan bahwa sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS itu sendiri. Ekosistem DAS hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap bagian DAS lainnya, antara lain dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu, perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2002).
Suripin (2002) menyatakan bahwa suatu DAS memiliki fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu dari faktor-faktor tersebut di atas mengalami perubahan maka akan berpengaruh pula terhadap ekosistem DAS tersebut. Gangguan terhadap suatu ekosisten daerah aliran sungai bisa bermacam-macam terutama berasal dari penghuni suatu DAS yaitu manusia. Apabila fungsi dari suatu DAS terganggu, maka sistem hidrologisnya juga akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang, atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian tersebut akan menyebabkan melimpahnya air pada musim hujan dan kurangnya air pada musim kemarau. Hal ini, membuat fluktuasi debit sungai antara musim kemarau dan musim hujan berbeda tajam.
Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada suatu daerah aliran sungai maka dibutuhkan suatu manajemen pengelolaan yang baik. Asdak (2007) mengemukakan bahwa pengelolaan daerah aliran sungai adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan kerusakan sumberdaya air dan tanah.
2.2.     Pengertian dan Mekanisme Erosi
2.2.1   Pengertian
            Erosi pada umumnya terjadi oleh akibat hujan dan angin.  Erosi hujan bermula dari turunnya hujan. Erosi juga terjadi di sepanjang tebing sungai, dimana kecepatan aliran  tinggi dan tahanan  material  tanggul rendah    (Christady, 2006). Erosi akan terjadi apabila ada agen erosi (air, ombak, angin, es, dan organisme) yang bekerja pada suatu bahan atau material tanah, dimana setiap agen erosi akan mengerosi dengan cara sendiri-sendiri karena berkaitan erat dengan sifat fisik dari agen erosi tersebut.
Asdak  (2007) menyatakan penyebab terjadinya erosi adalah erosi karena sebab alamiah dan erosi karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alamiah. Sedang erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah.
Sarief (1985), mengemukakan bahwa erosi tanah adalah suatu porses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah untuk produksi pertanian dan kualitas lingkungan hidup. Selanjutnya Kartasapoetra, dkk., (2005) menyatakan erosi merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin baik berlangsung secara alamiah maupun sebagai tindakan manusia (Kartasapoetra, dkk., 2005).
Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi, Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dan kapasitas penyimpanan air dalam tanah. Kekuatan perusak air yang mengalir di atas permukaan tanah akan semakin besar dengan makin curam dan makin panjangnya lereng permukaan tanah yang akhirnya akan terjadi erosi. Erosi yang terjadi meningkatkan aliran permukaan oleh karena berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah. Jumlah aliran permukaan yang meningkat mengurangi kandungan air tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan tumbuhan menjadi kurang baik (Arsyad, 1989).
Sehubungan dengan kejadian erosi, Kartasapoetra, dkk., (2005) menyatakan bahwa ada kelompok erosi yang dikenal sebagai erosi geologi dan erosi dipercepat; (1) erosi geologi (earth erosion) merupakan erosi yang berjalan sangat lambat dimana jumlah tanah yang tererosi sama dengan jumlah tanah yang terbentuk. Erosi ini tidak berbahaya karena terjadi dalam keseimbangan alami, dan (2) erosi dipercepat merupakan erosi yang dipercepat (Acelerated Erosion) akibat kegiatan manusia mengganggu keseimbangan alam, jumlah tanah tererosi lebih banyak dari jumlah tanah yang terbentuk.

2.2.2    Proses Terjadinya Erosi
Tentang terjadinya erosi tanah,  Russel (1973) dalam Kartasapoetra (2005) menyatakan bahwa kemampuan yang kurang dari tanah untuk menginfiltrasi air ke lapisan tanah yang lebih dalam, baik pada waktunya terjadi hujan atau dengan adanya air yang mengalir kepermukaan tanah, laju aliran air akan terjadi di permukaan tanah tersebut sambil mengangkut atau menghanyutkan partikel-partikel tanah tersebut. Dengan tidak dapat ditembusnya (non permeability) tanah oleh air karena pori-pori tanah kemungkinannya tertutup, maka makin banyak air yan mengalir di permukaannya akan makin banyak pula partikel-partikel tanah yang terangkut/terhanyutkan terus mengikuti aliran air ke sungai melakukan sedimentasi sementara atau terus dilanjutkan ke muara ataupun laut dan lazimnya melakukan pembentukan tanah-tanah baru di sekitar pantai.
Lebih lanjut lagi terjadinya erosi menurut kartasapoetra (2005), menjelaskan bahwa erosi meliputi proses detachment atau pelepasan partikel-partikel tanah, transportation atau penghanyutan partikel-partikel tanah dan deposition atau pengendapan partikel-partikel tanah yang telah terhanyutkan.
Detachment tersebut sebagai akibat timpaan  curah hujan yang menimpa permukaan tanah. Iklim, tanah, topografi, waktu dan pengelolaan tanah oleh manusia merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhinya. Erosi dan sedimentasi ini merupakan penyebab-penyebab utama dalam terjadinya kemerosotan produktivitas tanah-tanah pertanian, kemerosotan kuantitas dan kualitas air, kemerosotan kapasitas struktur saluran air dan lain sebagainya.

2.3.      Bentuk-Bentuk Erosi
Bentuk-bentuk erosi yang perlu diperhatikan adalah bentuk-bentuk erosi yang dipercepat, karena selain erosi ini sering terjadi, juga karena tangan-tangan atau perbuatan-perbuatan manusia yang mendorongnya (Kartasapoetra, 1989). Bentuk-bentuk erosi yang dipercepat itu antara lain :
1.                Erosi lembar (Sheet Erotion)
   Pengikisan bagian tanah permukaan yang berlangsung secara menyeluruh dan selanjutnya terangkut atau terhanyutkan secara merata ke kaki lereng pada daratan yang lebih rendah, yang telah menunjukkan tererosinya bagian permukaan. Jika  permukaan vegetasi di lapisan permukaan tanah teratas ternyata resisten, kemungkinan terjadi erosi permukaan secara menyeluruh. Bagian di bawah permukaan tanah teratas itu akan menggantikannya sehingga tetumbuhan vegetasi seolah-olah tidak terganggu.
2.                Erosi Alur (Rill Erotion)
Erosi alur terjadi karena air tekonsentarasi dan mengalir pada tempat-tempat tertentu di permukaan tanah sehingga pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat tersebut. Pada tempat konsentarsi itu akan timbul daya lajunya maka pengikisan-pengikisan di bawahnya mulai terjadi yang akhirnya laju air bersama hasil pengikisan akan mengalir ke bagian bawah dan membentuk larikan-larikan bagi penanaman yang searah dengan kemiringan lereng yang merupakan penyebab dan mempercepat terjadinya erosi alur.
3.                Erosi Parit (Gully Erotion)
 Proses terjadinya erosi parit sama dengan erosi alur, tetapi saluran-saluran yang terbentuk sudah sedemikian dalamnya sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa. Bagian-bagian tanah terkikis terjadi dengan hebat, sehingga alur-alur berubah menjadi parit-parit yang melebar serta dalam (dapat mecapai 30 m), maka erosi demikian di sebut erosi parit, ketahanan tanah di sekitar berlangsungnya pengikisan-pengikisan dapat mewujudkan pembentukan parti-parit yang berbentuk U dan V. Parit yang berbentuk U terjadi kalau tanah-tanah terkikis itu kurang resisiten (misalkan banyak kandungan pasir dan debu). Sedangkan parit berbentuk V akan terjadi kalau bagian-bagian tanah terkikis, lebih resisten terhadap pengikisan.
4.                  Erosi tebing sungai (Stream Bank Erotion)
Pengikisan-pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai pada umunya berlangsung pada arah sungai yang berkelok-kelok, karena pada sungai yang berkelok-kelok, arus telah membelok menuju tepi di seberang kelokan itu yang kekuatannya mampu melakukan pengikisan, sedang pada tebing yang sejalan dengan tempat kelokan baisanya terjadi pengendapan.
5.                     Longsor (Landslide)
Longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan tersebut yang terdiri dari liat atau mengandung kadar liat tinggi yang jenuh air berlaku sebagai peluncur (Arsyad, 1989).
2.4.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi dapat dipandang sebagai hasil saling tidih berbagai faktor lingkungan seperti keadaan tanah, iklim, topografi, tumbuhan, sifat fisik tanah dan manusia sebagai pengelola.
Menurut Kartasapoetra (2005), dalam menelaah dan memperhitungkan terjadinya erosi  dapat dilihat pada  interaksi kerja antara faktor  iklim, topografi, vegetasi (tumbuhan), sifat fisik tanah dan peranan manusia terhadap pengelolaan tanah yang dinyatakan dalam persamaan deskriptif berikut :
E = f (C,T,V,S,H) ............................................................................................(2.1)        
Dimana :
E = Erosi,  
f  = faktor-faktor yang mempengaruhi atau menimbulkannya
C = Iklim (climate),
T  = Topografi
V  = Vegetasi
S  = Sifat-sifat tanah (soil)
H  = Peranan manusia (human activities)

Text Box: Iklim            Hudson (1976), menggambarkan hubungan Klasifikasi faktor penyebab erosi menurut titik pandang erosivitas dan erodibilitas  jika dihubungkan dengan kelima faktor  tersebut dapat di buat bagan alir  sebagai berikut :
Text Box: Erosivitas                                                                                                                                (1)
Text Box: TanahText Box: Sifat fisik tanah 
Text Box: ErodibilitasText Box: Erosi                                                                                                                                (2)
                                                                                                             
Text Box: Topografi                                                                                                                                (3)
Text Box: VegetasiText Box: Pengelolaan tanah dan tanaman                                                                                                         
                                                                                                                                (4)
Text Box: Manusia                                                                                                 
                                                                                                                                (5)
Gambar 1. Diagram Proses Terjadinya Erosi
Peranan faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a.         Iklim
Faktor yang mempengaruhi erosi di daerah beriklim basah adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan serta kerusakan tanah.
Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu area tertentu. Oleh karena itu besarnya curah hujan dinyatakan dalam m3/satuan luas atau secara umum dinyatakan dengan tinggi air yaitu mm. Besarnya curah hujan yang dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim atau per tahun.
Intensitas hujan yang sangat penting mempengaruhi erosi adalah energi kinetik hujan sebagai penyebab pokok dalam proses penghancuran agregat-agregat tanah.
Menurut Kartasapoetra (2005), makin besar intensitas hujan, makin besar pula partikel tanah yang dilepaskan, makin besar diameter titik hujan maka daya kinetiknya makin besar, dan partikel-partikel tanah yang dilepaskan dari agregat-agregatnya juga semakin besar dengan demikian akan terjadi erosi.
Distribusi hujan menentukan sampai batas tertentu apakah suatu jumlah hujan tahunan akan menyebabkan ancaman erosi yang hebat atau tidak. Korelasi antara distribusi musiman dan kekuatan perusak hujan tergantung pada kondisi klimatologi daerah bersangkutan (Arsyad, 1989).

b.         Tanah
Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Sifat-sifat yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah :
1. Tesktur tanah
Tanah dengan tekstur kasar seperti pasir tahan terhadap erosi karena butir-butir yang besar (kasar) tersebut memerlukan banyak tenaga untuk mengangkut. Demikian pula dengan tanah-tanah tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga gumpalan-gumpalannya sukar untuk dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus (Hardjowigeno, 1987).
2.  Bentuk dan kemantapan struktur tanah
Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat), mempunyai porositas tinggi sehinga air mudah meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan menjadi kecil, sehingga erosi juga kecil. Demikian pada tanah-tanah yang mempunyai struktur tanah yang mantap, tidak mudah hancur oleh pukulan-pukulan air hujan, tanah tahan akan erosi. Sebaliknya tanah yang tidak mantap sangat mudah hancur oleh pukulan air hujan menjadi butir-butir halus sehingga menutupi pori-pori tanah.
3.  Daya infiltrasi atau permeabilitas tanah
Daya infiltrasi tanah yang besar, berarti air mudah meresap ke dalam tanah, sehingga aliran permukaan kecil. Akibatnya erosi yang terjadi kecil. Daya infiltrasi tanah di pengaruhi oleh porositas dan kemantapan struktur tanah, serta tanaman penutup.
4.  Kandungan bahan organik tanah
Tanah-tanah yang mengandung bahan organik umumnya menyebabkan struktur tanah menjadi mantap sehingga tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2 % umunya peka terhadap erosi (Hardjowigeno dan Sukmana, 1995).
c.   Topografi
Sifat utama dari topografi yang mempengaruhi erosi adalah derajat kemiringan lereng dan panjang lereng. Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam dan atau semakin panjang. Sebab air yang mengalir ke permukaan tanah akan terkumpul di ujung lereng, yang dengan demikian berarti lebih banyak air yang mengalir dan makin besar kecepatan di bagian bawah lereng daripada di bagian atasnya. Akibatnya, tanah di bagian bawah lereng akan mengalami erosi yang lebih besar daripada di bagian atasnya (Seta, 1991).
d.  Vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah : (1) Menghalangi air hujan agar tidak langsung di permukaan tanah, sehinga kekuatan untuk mengahancurkan tanah sangat dikurangi. Hal ini tergantung dari kerapatan dan tingginya vegetasi. (1) Makin rapat vegetasi yang ada, maka makin efektif mencegah terjadinya erosi; (2) Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi; (3) Penyerapan air kedalam tanah diperkuat oleh transpirasi melalui vegetasi.
Hutan paling efektif mencegah erosi, karena daun-daun yang rapat tetapi rumput-rumput yang tumbuhnya rapat semakin efektif. Tumbuhan yang merambat di permukaan tanah tidak hanya memperlambat aliran air, tetapi juga mencegah pengumpulan air secara cepat, akar-akar tanaman mengikat butir-butir primer secara mekanik dan secara kimia, mengakibatkan agregat-agregatnya menjadi stabil (Hardjowigeno dan Sukmana, 1995).
e.   Manusia
Kepekaan tanah terhadap erosi dapat di ubah oleh manusia menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlereng curam merupakan pengaruh baik bagi manusia karena dapat megurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerah-daerah pegunungan merupakan pengaruh manusia yang jelek karena dapat menyebabkan erosi dan banjir (Hardjowigeno dan Sukmana, 1995).
2.5.      Prediksi Erosi
Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang di pergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi  dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Tindakan konservasi tanah dan penggunaan lahan yang diterapkan adalah yang dapat menekan laju erosi agar sama atau lebih kecil dari laju erosi yang masih dapat dibiarkan.           
Metode prediksi erosi juga merupakan alat untuk menilai apakah suatu program atau tindakan konservasi tanah telah berhasil mengurangi erosi dari suatu bidang tanah atau suatu daerah aliran sungai (DAS). Prediksi erosi adalah alat bantu untuk mengambil keputusan dalam mengambil perencanaan konservasi tanah pada suatu areal tanah (Arsyad,1989). Untuk menduga besaran tingkat erosi yang terjadi digunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Formulasinya dapat digunakan rumus dari Wischmeier dan Smith (1960) dalam Arsyad (1989) sebagai berikut :
A = R K L S C P............................................................................................            (2.2)    
Dimana :
A    : Besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan (ton.ha-1.thn-1).
R      : Erosivitas curah hujan dan aliran permukaan untuk daerah tertentu
K     : Erodibilitas tanah untuk horison tanah tertentu
L     : Panjang kemiringan lereng
S     : Kemiringan lereng
C      : Pengelolaan tanaman
     P     : Tindakan  konservasi tanah

a.        Erosivitas hujan (R)
Hasil analisis indeks erosivitas hujan dapat diketahui dari hasil perkalian keseluruhan energi kinetik (E) dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit (l30) (Arsyad, 1989).
EI30 = 6,12 (RAIN)1,21(DAYS)-0,47(MAXP)0,53........................................            (2.3)
EI30            =  erosivitas hujan bulanan
RAIN        = curah hujan rata-rata bulanan (cm)
DAYS       =  banyaknya hari hujan setiap bulan (hari)   
MAX P      =  curah hujan maksimum rata-rata dalam 24 jam perbulan untuk kurun  waktu satu tahun (cm)
b. Erodibilitas Tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah (K) adalah besarnya erosi per unit indeks erosi yang diukur pada petak standar (panjang 22 m, lereng 9 %) dan tanahnya terus menerus diolah. Untuk menentukan nilai erodibilitas tanah, ditentukan dengan menggunakan persamaan Hammer (1978) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sebagai berikut :
K   ………… (2.4)
      Dimana,
     K = Erodibilitas tanah
     M = Parameter ukuran butir tanah diperoleh dengan rumus (% debu + % pasir   sangat halus) x (100-%liat) atau menggunakan Tabel 2.3.
     a  =  Persentase bahan organic (% C x 1,724)
     b  =  Kode (nilai) struktur tanah (Tabel 2.1)
     c  =  Kode (nilai) permeabilitas tanah (Tabel 2.2)

Tabel. 2.1.  Penilaian struktur tanah
Kelas Struktur Tanah
Nilai
Granuler sangat halus < (1 mm)
Granuler halus (1-2 mm)
Granuler sedang - kasar (2-10 mm)
Gumpal, kubus, pipih atau masif
1
2
3
4
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka ,2007
Tabel 2.2.  Kode Permeabilitas tanah
Klas Permeabilitas
Cm/jam
Nilai
Sangat Lambat
Lambat
Sedang sampai lambat (moderate to slow) 
Sedang (moderat)
Sedang sampai cepat (moderate to rapid)
Cepat (rapid)
<0,5
0,5-2,0
2,0-6,3
6,3-12,7
12,7-25,4
>25,4
6
5
4
3
2
1
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Tabel 2.3. Nilai M persentase ukuran partikel (% Debu + % Pasir Sangat Halus) x (100-% Liat) Untuk beberapa kelas tekstur tanah.
Kelas Tekstur Tanah
Nilai M
Kelas Tekstur Tanah
Nilai M
Liat berat
Liat sedang
Liat berpasir
Liat  ringan
Lempung liat berpasir
Liat berdebu
Lempung berliat
210
750
1213
1685
2160
2830
1830

Pasir
Lempung berpasir
Lempung liat berdebu
Pasir berlempung
Lempung
Lempung berdebu
Debu

3035
3245
3770
4005
4390
6330
8245

Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
C. Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)
Perhitungan panjang lereng (L) oleh Schwab et al., (1981) dalam Asdak, (2007) :
L = (l/22,1)m………………………………………………………….     (2.5)

Dimana :    L  = Panjang lereng (m)
                  l   = Pengukuran lereng di lapangan
                       m = Angka eksponen yang dipengaruhi oleh interaksi antara panjang lereng dan kemiringan lereng dan dapat juga dipengaruhi oleh karakteristik tanah, tipe vegetasi.
      Faktor kemiringan lereng (S) didefinisikan secara matematis sebagai berikut (Schwab et al.,1981 dalam Asdak, 2007) adalah :
S = (0,43 + 0,30 s + 0,04 s2)/6,61……………………………………     (2.6)
Dimana :
s = Kemiringan lereng aktual (%)

d.  Faktor Pengelolaan Tanaman (C)
Faktor pengelolaan tanaman merupakan perbandingan antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu lahan dengan pola pertanaman dan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak di tanami dan di olah bersih.
Nilai faktor C untuk berbagai jenis tanaman dan pengelolaan tanaman di indonesia dapat di lihat dalam Lampiran 1.




e.   Tindakan Konservasi Tanah (P)
Nilai P merupakan faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah yaitu nisbah antara besarnya erosi tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seprti pengolahan tanah menurut kontur dalam strip atau teras, terhadap besarnya erosi pada tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan identik (Arsyad, 1989).
Dari berbagai hasil penelitian, nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 2.
2.6.        Erosi yang diperbolehkan
            Perhitungan erosi yang dapat dibiarkan (tolerable erosion) dilakukan untuk mengetahui laju erosi standar yang terjadi pada lahan. Jika laju erosi actual telah dapat diperkirakan dan nilai erosi  yang diperbolehkan telah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat digunakan secara produktif dan lestari (Arsyad, 1989).
Wood dan Dent (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), mengajukan persamaan  untuk menghitung erosi diperbolehkan  (Edp), dengan memperhatikan kedalaman tanah minimum dan kecepatan proses pembentukan tanah sebagai berikut :
                        …………………………        (2.6)

DE             = Kedalaman efektif tanah (cm) x nilai faktor kedalaman
DMIN       = Kedalaman tanah minimum (cm)
T                = Masa pakai tanah (tahun)
SF              = Laju pembentukan tanah dalam mm.th-1 ditentukan sebesar 25 mm dengan asumsi pembentukan tanah 300 tahun
Nilai faktor kedalaman tanah ditentukan berdasarkan tabel nilai faktor kedalaman beberapa Sub Order tanah (Arsyad, 1989) disajikan pada lampiran 3.
Masa pakai tanah dapat diestimasi dengan perkiraan laju pembentukan tanah. Berdasarkan perhitungan para pakar geologi telah menetapkan bahwa untuk membentuk lapisan tanah atas (top soil) setebal 25 mm pada lahan-lahan alami dibutuhkan waktu kurang lebih 300 tahun (Seta, 1991), dengan demikian nilai masa pakai tanah (MPT) di lokasi penelitian di tentukan selama 300 tahun.
2.7.     Tingkat Bahaya Erosi
            Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan.  Jumlah maksimum tanah hilang ini agar produktivitas lahan tetap lestari, pada dasarnya harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah. Akan tetapi untuk daerah-daerah yang digunakan untuk usaha pertanian, terutama daerah berlereng, jumlah tanah hilang selalu lebih besar dari tanah yang terbentuk. Karena itu untuk menentukan besarnya erosi yang diperbolehkan kemudian dikembangkan batasan-batasan seperti jangka waktu kelestarian tanah (resource life, kedalaman minimum tanah yang diperbolehkan, dan sebagainya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
            Untuk menentukan tingkat bahaya erosi, Departemen Kehutanan (1986) menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal solum tanahnya, berarti makin sedikit tanah yang tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. Pada Tabel  2.4 disajikan penilaian tingkat bahaya erosi berdasar atas tebal solum tanah dan besarnya bahaya erosi.
Tabel. 2.4. Tingkat bahaya erosi berdasar tebal solum tanah dan besarnya bahaya erosi (jumlah erosi maksimum, A)
Tebal Solum (cm)
Erosi maksimum(A) ton/ha/tahun
< 15
15 – 60
60 – 180
180– 480
 > 480
       > 90
60 – 90
30 – 60
< 30
SR
R
S
B
S
B
SB
SB
S
B
SB
SB
B
SB
SB
SB
SB
SB
SB
SB
Keterangan: SR = sangat rendah, R = rendah, S = sedang, B = berat, SB = sangat berat
Sumber : Departemen Kehutanan, 1986

2.7.      Indeks Bahaya Erosi
Indeks bahaya erosi merupakan petunjuk besarnya bahaya erosi pada suatu lahan. Tujuan menentukan indeks bahaya erosi sebenarnya sama dengan tujuan menentukan tingkat bahaya erosi yaitu untuk mengetahui sejauh mana erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian produktivitas tanah yang bersangkutan. Perbedaan kedua istilah tersebut terletak dalam metode menentukan nilainya masing-masing. Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasar atas perbandingan antara jumlah tanah tererosi dengan kedalaman efektif tanah. Indeks bahaya erosi dapat ditentukan dengan membandingkan jumlah tanah yang tererosi dan besarnya erosi yang diperbolehkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
Selanjutnya Wood dan Dent (1983), menentukan  indeks bahaya erosi (IBE)  dengan persamaan sebagai berikut :
IBE  = ………………..(2.7)
Berdasarkan atas persamaan tersebut maka dibuat pengharkatan indeks bahaya erosi yang disajikan seperti pada Tabel 2.5
Tabel 2.5. Pengharkatan Indeks Bahaya Erosi
Indeks Bahaya Erosi (IBE)
Kelas
≤ 1,0
1,01 – 4,0
4,01 – 10,0
≥ 10,01
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007
2.8.      Klasifikasi Kemampuan Lahan
            Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan ke dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus-menerus. Dengan kata lain, klasifikasi ini akan menetapkan jenis penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi tanaman secara lestari (Seta, 1991).
            Sitorus (1998), mengemukakan pada dasarnya sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan di berbagai negara dewasa ini adalah sistem USDA (United States Departmen of Agriculture) yang disusun oleh Klingebiel dan Montgomerry (1961). Sistem klasifikasi lahan ini merupakan salah satu dari sejumlah pengelompokan lahan melalui interpretasi yang dibuat terutama untuk keperluan pertanian. Salah satu dari tujuannya adalah mengelompokan lahan yang dapat digarap (arable lands) menurut potensi dan penghambatnya untuk dapat berproduksi secara lestari. Sistem tersebut didasarkan pada faktor-fator penghambat dan potensi bahaya lain yang masih dapat diterima dalam klasifikasi lahan
            Hardjowigeno (1985), mengemukakan bahwa klasifikasi kemampuan lahan sistem USDA sebenarnya sangat praktis untuk digunakan di Indonesia  karena sangat sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium. Klasifikasi pengelompokan utama didasarkan pada satuan peta tanah, tetapi sifat fisik tanah lainnya seperti kemiringan lereng, banjir dan iklim juga diperhitungkan. Konsep utama yang dipergunakan adalah ada tidaknya faktor penghambat yaitu sifat- sifat lahan yang membatasi penggunaan lahan. Pembatas permanen adalah faktor pembatas yang sulit diperbaiki seperti kedalaman tanah, iklim dan sebagainya. Pembatas sementara adalah faktor pembatas yang dapat diperbaiki dalam pengelolaan lahan seperti kandungan unsur hara, kemasaman dan sebagainya.


2.9.      Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan
2.9.1    Kelas
            Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi kemampuan lahan. Penggolongan kedalam kelas didasarkan atas intensitas faktor-faktor penghambat yang permanen atau sulit diubah (Sitorus, 1998).
            Sys et al. (1991) mengemukakan bahwa kriteria yang digunakan pada tingkat kelas ini adalah jumlah jenis tanaman yang dapat dikembangkan, tindakan konservasi yang diperlukan  dan pengelolaan tanah dan tanaman. Jika jenis tanaman yang dapat dikembangkan pada suatu lahan semakin banyak, maka lahan tersebut akan memiliki kemampuan yang baik.
            Menurut Arsyad (1989), pengelompokkan tanah di dalam kelas terbagi kedalam 8 kelas yang di tandai dengan huruf romawi dari I sampai kelas VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai Kelas VIII. Tanah pada kelas I sampai kelas IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan, sedangkan tanah pada kelas V sampai kelas VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya.

Kelas I,
            Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah khusus. Lahannya datar, solumnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah, dan responsif terhadap pemupukan. Lahan kelas ini tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah yang baik diperlukan guna menjaga kesuburan dan mempertinggi produktivitas (Hardjowigeno, 2001).
Kelas II
            Tanah pada kelas ini memiliki sedikit faktor pembatas yang dapat merupakan salah satu atau kombinasi dari faktor seperti lereng yang landai         (3-8%), kepekaan erosi atau ancaman erosi sedang atau telah mengalami erosi sedang, kedalaman efektif agak dalam (90 cm), struktur tanah dan daya olah kurang baik dengan tekstur agak kasar sampai halus, salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinan timbul kembali, kadang-kadang terkena banjir yang merusak, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaannya. Tanah pada kelas ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung dan cagar alam (Suripin, 2002).
Kelas III
            Tanah pada kelas ini mempunyai lebih banyak faktor pembatas daripada tanah di lahan kelas II dan apabila digunakan untuk usaha pertanian akan memerlukan tindakan konservasi serius yang umumnya akan lebih sulit baik dalam pelaksanaannya maupun pemeliharaannya. Kondisi lahan pada kelas ini miring (15-25%), sangat peka terhadap erosi, solum dangkal, berdrainase buruk, permeabilitas lambat, kapasitas menahan air rendah, kesuburan tanah rendah dan tidak mudah diperbaiki (Seta, 1991). Menurut Sitorus (1998), apabila lahan ini diusahakan maka akan membutuhkan tindakan pengawetan khusus seperti perbaikan drainase, sistem penanaman dalam jalur atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah, pembuatan teras, disamping tindakan-tindakan untuk meningkatkan kesuburan tanah seperti penambahan bahan organik, pupuk dan sebagainya.
Kelas IV         
Hardjowigeno (2001), mengemukakan bahwa tanah pada lahan kelas ini mempunyai penghambat yang berat yang membatasi pilihan tanaman yang dapat diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat berhati-hati atau kedua-duanya. Penggunaan tanah kelas IV sangat terbatas karena salah satu atau kombinasi dari penghambat seperti lereng yang miring atau berbukit (25-35%), kepekaan erosi besar,erosi yang telah terjadi berat, solum dangkal, daya menahan air rendah, sering tergenang banjir yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman ,drainase terhambat dan masih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase.
kelas V 
            Menurut Hardjowigeno (2001), tanah pada lahan kelas ini  mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaaan tanah ini. Akibatnya, tanah ini hanya cocok untuk tanaman rumput ternak secara permanen atau di hutankan. Tanah ini datar, akan tetapi mempunyai salah satu kombinasi dari sifat-sifat seperti drainase yang sangat buruk atau terhambat, sering kebanjiran, berbatu-batu dan penghambat iklim cukup besar. Sebagai contoh tanah kelas ini adalah tanah di lembah-lembah yang sering kebanjiran sehingga tanaman tidak dapat berproduksi secara normal, tanah datar dengan musim tumbuh yang pendek, tanah datar yang berbatu, daerah yang tergenang yang tidak cocok untuk tanaman pertanian tetapi cocok untuk rumput atau pohon-pohonan . Ditambahkanh pula oleh Sitorus (1998), bahwa tanah dalam lahan kelas V ini tidak sesuai untuk tanaman semusim, tetapi lebih susuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti tanaman makanan ternak atau di hutankan.
Kelas VI
Menurut Suripin (2002) tanah pada lahan kelas ini terletak pada lereng terjal dengan kemiringan 30-40% sehingga sangat sensitif terhadap erosi, sangat berbatu-batu atau berpasir dan mengadung banyak kerikil, tanahnya sangat dangkal atau telah mengalami erosi berat. Seta (1991) mengemukakan bahwa tanah pada kelas VI ini tidak dapat digunakan untuk usaha tani tanaman semusim, namun lebih sesuai untuk vegetasi permanen seperti padang rumput atau makanan ternak atau dijadikan hutan produksi. Jika digunakan untuk padang rumput, sebaiknya pengembalaan tidak merusak rumput penutup tanah. Sedangkan jika digunakan untuk hutan, maka penebangan kayu harus selektif dan mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
Kelas VII
Tanah pada lahan kelas ini terletak pada lereng dengan kemiringan yang sangat curam (45-65%) dan memiliki solum yang sangat dangkal serta telah mengalami erosi yang sangat berat (Suripin, 2002).  Lahan kelas VII ini tidak cocok untuk budidaya pertanian. Jika dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat (Suripin, 2002). Tanah pada kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika dipergunaklan untuk tanaman pertanian harus dibuatkan teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah serta tindakan pemupukan..
 kelas VIII
Tanah pada kelas ini tidak sesuai untuk produksi pertanian dan harus dibiarkan dalam keadaan alami atau di bawah vegetasi alam. Tanah ini dapat digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Penghambat yang tidak dapat diperbaiki lagi dari tanah ini adalah salah satu atau lebih sifat erosi atau bahaya erosi sangat berat , iklim sangat buruk, tanah selalu tergenag, berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, salinitasnya atau kandungannya sangat tinggi dan sangat terjal (Hardjowigeno, 2001).  Seta (1991) mengemukakan tanah pada lahan kelas ini terletak pada lereng yang sangat curam (>65%), permukaannya sangat berbatu karena tertutup batuan lepas atau batuan singkapan atau tanah pasir di pantai.
2.9.2 Subkelas
            Menurut Arsyad (1989), subkelas adalah pengelompokkan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief, hidrologi, dan iklim. Terdapat beberapa ancaman atau hambatan yang dikenal pada subkelas, yaitu : ancaman erosi yang ditandai dengan huruf e, keadaan drainase atau kelebihan air atau ancaman, banjir ditandai dengan huruf w, hambatan daerah perakaran ditandai dengan huruf s dan hambatan iklim ditandai dengan huruf c.
            Menurut USDA dalam Suripin (2002) menjelaskan subkelas klasifikasi kemampuan lahan adalah sebagai berikut :
  1. Sub kelas e terdapat pada lahan yang menunjukkan erosi atau tingkat erosi yang telah terjadi merupakan. Masalah utama yang didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah.
  2. Subkelas w terdapat pada lahan dimana kelebihan air merupakan faktor penghambat utama yang timbul akibat drainase yang buruk, air tanah yang dangkal atau tinggi dan bahaya banjir yang merusak tanaman.
  3. Subkelas s meliputi lahan yang lapisan tanahnya dangkal, banyak terdapat batuan dipermukaan, kapasitas menahan air rendah, kesuburan rendah yang sulit diperbaiki, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki,
  4. Subkelas c meliputi lahan di mana iklim (suhu dan curah hujan ) merupakan pembatas penggunaan lahan.
Arsyad (1989) mengemukaakan bahwa hambatan atau ancaman yang disebabkan oleh bahaya erosi, kelebihan air, kedangkalan lapisan tanah, batuan di permukaan, kapasitas menahan air yang rendah, salinitas atau kandungan garam, dapat dirubah atau sebagian dapat diatasi dan merupakan pembatas yang didahulukan dari pada iklim dalam menentukan subkelas dan di tandai dengan huruf e, w dan s. Lahan-lahan yang tidak mempunyai pembatas lain selain iklim ditandai dengan huruf c.
2.9.3.  Satuan kemampuan
            Satuan kemampuan adalah pengelompokan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama atau memberikan tanggapan yang sama terhadap masukan pengelolaan yang diberikan. Lahan dalam satuan kemampuan yang sama harus seragam dalam produksi tanaman pertanian atau rumput di bawah tindakan pengelolaan yang sama, kebutuhan akan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah vegetasi penutup yang sama, dan mempunyai produktivitas potensial yang setara atau perbedaan hasil di bawah sistem pengelolaan yang sama tidak boleh lebih dari 25 % (Arsyad, 1989). Selanjutnya, menurut United State Departmen of Agricultural (USDA) dalam  Suripin (2002), satuan kemampuan diberi tanda dengan menambahkan angka-angka di belakang simbol sub kelas. Angka-angka ini menunjukan besarnya tingkat faktor penghambat yang di tunjukkan dalam sub kelas.
            Gambaran peruntukan lahan untuk tiap-tiap kelas kemampuan lahan dapat di lihat pada Gambar 2. Pada Tabel 2.6 dapat dilihat peruntukan lahan pada tiap-tiap kelas kemampuan lahan dan macam faktor pembatasnya.
Kelas kemampuan
Lahan
Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat
Cagar Alam
Hutan
Penggembalaan terbatas
Penggembalaan sedang
Penggembalaan Intensif
Pertanian Terbatas
Pertanian sedang
Pertanian  Intensif
Pertanian Sangat Intensif
HAMBATAN/ANCAMAN MENINGKAT
, KESESUAIAN DAN PILIHAN
  PENGGUNAAN BERKURANG
I









II









III








IV







V






VI





VII




VIII




Gambar 2.   Skema Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas   dan Macam Penggunaan Lahan (Hardjowigeno, 1995).


Tabel 2.6.  Kelas Kemampuan lahan dan Kemungkinan Peruntukan Menurut Sistem  USDA
Kelas Kemampuan Lahan
Pembatas (Penghambat/Bahaya)
Kemungkinan Peruntukan
I  –  Baik Sekali
Tanpa/Takada penghambat
Segala Macam Usaha Pertanian
II – Baik
Beberapa penghambat yang tak berarti(permukaan air tanah kekeringan)
Banyak usaha pertanian yang dapat dilakukan
III – Agak Baik
Sedikit Penghambat Yang mudah diatasi (air tanah tinggi, relief mikro, batuan)
Usaha pertanian agak terbatas. Diperuntukkan investasi berupa irigasi, drainase, pemupukan, dan pencegahan erosi.
IV – Sedang
Agak banyak penghambat yang harus diatasi (kemiskinanhara, batu, topografi berombak) bahaya erosi sedikit
Usaha pertanian terbatas sekali diperlukan banyak investasiberupa pemupukan, pembuatan terasering.
V – Agak Jelek
Penghambat cukup banyak (kemiskinan hara ,  kongkresi/padas/batu, lereng agak curam, topografi bergelombang) bahaya erosi sedang.
Usaha pertanian biasa sangat terbatas atau tidak mungkin. Diperlukan pemupukan, pencegahan erosi, pembuatan terasering, baik untuk tanaman keras maupun untuk pengembalaan
VI – Jelek
Penghambat banyak dan berat (miskin hara, padas keras, batu, lereng curam, topografi berbukit) bahaya erosi dan banjir
Banyak sekali investasi yang diprluakn untuk mencegah banjir dan erosi. Baik untyuk padang rumput pengembalaan pemukiman, hutan produksi
VII - jelek sekali
Penghambat banyak sekali(tanah dangkal sangat berbatu, topografi bergunung, bahaya erosi berat sekali
Baik untuk hutan lindung dengan sistem tebang pilih
VIII-Amat jelek   sekali
Penghambat Berat sekali (tanah dangkal sangat berbatu, lereng sangat terjal, bergunung) bahaya erosi berat sekali
Hanya baik untuk hutan lindung, suaka margasatwa dan hutan rekreas
2.10     Kriteria Klasifikasi Kemampuan lahan
a.         Iklim
            Menurut Arsyad (1989), dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan adalah temperatur dan curah hujan. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian letak suatu tempat dari permukaan laut. Udara yang bebas bergerak akan turun temperaturnya pada umumnya dengan 1o C untuk setiap kenaikan 100 m di atas permukaan laut.
            Ditambahkan pula bahwa penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah, agak kering dan kering mempengaruhi kemampuan tanah. Di daerah iklim agak basah, misalnya tanah berpasir diklasifikasikan dalam kelas VI atau VII, sedangkan tanah yang mempunyai kapasitas menahan air sama di daerah beriklim lebih basah diklasifikasikan dalam kelas III atau IV. Untuk menelaah hambatan iklim ini dapat digunakan sistem klasifikasi iklim atau hujan Schmidt ,Fergusson, Koppen, dan Oldeman.
                        Sistem Klasifikasi Schmidt-Ferguson Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Schmidt-Fergoson membagi tipe-tipe iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe iklim tersebut adalah sebagai berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan tipe iklim H (ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang.
            Perhitungan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson berdasarkan bulan basah dan bulan kering. Persamaan yang digunakan adalah :
Q = ....................................................... (.....)
            Kriteria untuk penggolongan bulan basah dan bulan kering disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1. Kriteria bulan basah dan bulan kering menurut Schmidt dan Ferguson
Kelas Bulan
Curah Hujan (mm)
Basah
> 100
Kering
< 60
Lembab
60 – 100

Berdasarkan nilai Q tersebut tipe iklim dapat ditentukan dengan klasifikasi yang disajikan pada Tabel 2.2 sebagai berikut :
Tabel 2.2. Klasifikasi tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson
Tipe iklim
Nilai Q (%)
Kriteria
A
0,0 – 14,3
Sangat basah
B
14,3 – 33,3
Basah
C
33,3 – 60,0
Agak basah
D
60,0 – 100,0
Sedang
E
100,0 – 167,0
Agak kering
F
167,0 – 300,0
Kering
G
300,0 – 700,0
Sangat kering
H
> 700,0
Luar biasa kering


b.         Lereng
            Menurut Arsyad (1989), kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng mempengaruhi erosi dan besarnya  aliran permukaan. Kecuraman lereng biasanya dapat diketahui melalui peta rupabumi dan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
A   = 0 – 3 %         (datar)
B   = 3 – 8 %         (landai atau berombak )
C   = 8 – 15 %       ( agak miring atau bergelombang)
D   = 15-25 %       ( miring atau berbukit)
E    = 25-45%        ( agak curam)

F    = 45-65%        ( curam)
G   = > 65 %         (sangat curam)

c.         Tekstur
            Seta (1991) mengemukakan bahwa tekstur yang diamati adalah tektur tanah atas di mana pada tanah-tanah yang belum terganggu adalah pada horizon A, sedangkan pada tanah-tanah yang telah diolah adalah sampai kedalaman lapisan olah (15 – 25 cm). Tekstur tanah dikelompokan sebagai berikut :
t1  =   halus, yang meliputi tekstur liat dan liat berdebu
t2 =  agak halus, yang meliputi tekstur liat berpasir, lempung liat berdebu,   lempung berliat, lempung liat berpasir.
t3  =  sedang, yang meliputi tekstur debu, lempung berdebu dan lempung
t4  =  agak kasar, yang meliputi tekstur lempung berpasir
t5  =  kasar, yang meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir.
d.         Kedalaman Tanah
            Menurut USDA dalam Suripin (2002), kedalaman tanah yang diklasifikasikan adalah kedalam tanah efektif yang  merupakan tebal lapisan tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman dimana lapisan tersebut dapat berupa lapisan padas keras, padas liat, padas rapuh atau lapisan plinthite. Kedalaman tanah efektif ini diklasifikasikan sebagai berikut :
k0  =    > 90 cm ( dalam)
k1  =    50 – 90 cm (sedang)
k2  =    25 – 50 cm (dangkal)
k3  =    < 25 cm ( sangat dangkal)
e.         Drainase
            Arsyad (1989) mengklasifikasikan drainase atau tata air pada suatu tanah berdasarkan warna tanah tersebut sebagai berikut :
do = berlebihan ( excessively drainade), air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh air sehingga tanaman akan segera mengalami kekurangan air.
d1 = baik, tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai kebawah (150 cm) berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu.
d2 = agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik didaerah perakaran, tidak terdapat  bercak-bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari permukaan tanah).
d3 = agak buruk, lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik dan tidak terdapat bercak-beercak berwarna kuning coklat atau kelabu. Bercak-bercak ini terdapat pada seluruh lapisan bagian bawah (sekitar 40 cm dari permukaan tanah)
d4 = buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kekuningan, coklat atau kelabu.
d5 =  sangat buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang dipermukaan tanah dalam waktu yang sama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
f.          Erosi
            Menurut Seta (1991), penilaian erosi didasarkan pada gejala erosi yang sudah terjadi. Kerusakan karena erosi diklasifikasikan sebagai berikut :
e0 =   tidak ada erosi
e1 =   ringan jika, < 25 % dari lapisan tanah atas hilang
e2 = sedang jika, 25 – 75 % dari lapisan tanah atas hilang dan  < 25 % lapisan                   tanah bawah juga hilang.
e3 =  berat jika > 75 % dari lapisan tanah atas hilang dan < 25 % lapisan tanah bawah juga hilang
e4 =   sangat berat, jika > 25 % dari lapisan tanah bawah hilang.
g.         Batu-Batuan dan Kerikil
Arsyad (1989) mengemukakan bahwa bahan kasar dapat berada di dalam lapisan tanah atau di atas permukaan tanah. Bahan kasar yang terdapat di dalam lapisan 20 cm atau di bagian atas tanah yang berukuran lebih besar dari 2 mm dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerikil adalah bahan kasar      yang berdiameter lebih besar dari 12 mm sampai 7,5 cm jika berbentuk bulat atau  sampai 15 cm sumbu panjang jika berbentuk pipih kerikil di dalam lapisan 20 cm dari permukaan tanah dikelompokkan sebagai berikut :
b0  =    tidak ada atau sedikit, 0 – 15 % volume tanah
b1  =    sedang, 15 – 50 % volume tanah
b2  =    banyak, 50 – 90 % volume tanah
b3  =    sangat banyak, < 90 % volume tanah.
            Batuan kerikil adalah bahan kasar atau batuan berdiameter 7,5 sampai 25 cm jika berbentuk bulat, atau sumbu panjangnya berukuran 15 – 40 cm jika berbentuk pipih, dan dikelompokkan sebagai berikut :
b0  =    tidak ada atau sedikit, 0 – 15 % volume tanah.
b1  =    banyak, 50 – 90% volume tanah. Pengolahan tanah sangat sulit dan  pertumbuhan tanaman terganggu.
b2  =    banyak, 50 – 90% volume tanah. Pengolahan tanah sangat sulit dan pertumbuhan tanaman terganggu.
b3  =    sangat banyak, > 90 % volume tanah. Pengolahan tanah tidak mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu.
            Batuan lepas adalah batuan yang tersebar dipermukaan tanah dan berdiameter lebih besar dari 25 cm jika berbentuk bulat, atau bersumbu memanjang > 40 cm jika berbentuk pipih, yang dikelompokan sebagai berikut:
b0  =    tidak ada, < 0,01% luas areal
b1  =    sedikit 0,01 – 3% permukaan tanah tertutup, pengolahan tanah dengan mesin agak terganggu tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.
b2  =    sedang, 3 – 15% permukaan tanah tertutup, Permukaan tanah tertutup, Pengolahan tanah mulai agak sulit dan luas areal produktif berkurang
b3  =    banyak, 15 – 90% permukaan tanah tertutup, Pengolahan tanah dan pertumbuhan tanaman menjadi sangat sulit.
b4  =    sangat banyak,  > 90 % permukaan tanah tertutup, Tanah sama sekali tidak dapat digunakan untuk produksi tanaman.
Batuan tersingkap (rock) penyebarannya dikelompokkan sebagai berikut :
b0  =    tidak ada, < 2% permukaan tanah tertutup.
b1  =    sedikit, 2 – 10%  Pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu.
b2  =    sedang, 10 – 50% permukaan tanah tertutup, pengolahan tanah dan penanaman terganggu.
b3  =    banyak, 50 – 90% permukaan tanah tertutup, Pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu.
b4  =    sangat banyak, > 90 % permukaan tanah tertutup, Tanah sama sekali tidak dapat digarap.
h.         Ancaman Banjir/Genangan
Suripin (2002) mengelompokkan kriteria ancaman banjir sebagai berikut :
00  =    tidak pernah, dalam periode satu tahun lahan tidak pernah tertutup banjir lebih dari 24 jam.
01  =    kadang-kadang, banjir yang menutupi lahan lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur dalam periode kurang dari satu bulan.
02  =    selama waktu satu bulan dalam setahun lahan secara teratur tertutup banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam.
03  =    selama waktu  2 sampai 5 bulan dalam setahun secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam
04  =    selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam.

2.11.    Indeks Parametrik

Indeks parametrik adalah indeks berupa angka nilai potensi lahan untuk penggunaan pertanian dan kehutanan yang merupakan akumulasi dari penilaian masing-masing faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Istilah parametrik disini sebenarnya kurang tepat karena tidak ada kaitan dengan istilah parametrik yang biasa digunakan dalam matematika, karena itu Rossiter (1994) dalam Hardjowigeno (2007) mengusulkan agar istilah” Indeks Parametrik” diganti dengan istilah” Indeks multifactor”. Tujuan menentukan indeks parametrik adalah untuk mengetahui nilai suatu lahan secara numerik (dengan angka) berdasar atas penilaian masing-masing parameter atau sifat tanah. Lahan yang sangat baik diberi angka indeks 100 % sedang lahan yang sangat jelek diberi angka 0 % . besarnya angka indeks adalah proporsional (ratio scale), artinya lahan yang mempunyai angka indekas 80 % adalah dua kali lebih baik dibanding dengan lahan yang mempunyai angka indeks 40 %. Untuk dapat menghasilkan nilai akhir, nilai masing-masing sifat tanah tersebut dapat dikalikan secara langsung.
2.12.    Landasan Teori
            Setiap bentang lahan mempunyai kemampuan yang berbeda sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh lahan tersebut. Lahan dengan kemampuan yang tinggi akan memiliki potensi yang tinggi dan dapat digunakan oleh berbagai kepentingan. Sebaliknya lahan dengan kemampuan yang rendah akan memiliki potensi yang rendah serta hanya dapat digunakan untuk kepentingan tertentu dan bersifat terbatas.
            Tingkat erosi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan suatu lahan. Semakin tinggi erosi yang terjadi maka kemampuan lahan tersebut akan semakin rendah. Erosi sangat berkaitan erat dengan tingkat kelerengan , semakin curam suatu lahan maka kemungkinan untuk terjadinya erosi akan semakin besar. Oleh sebab itu penggunaan lahan di daerah dengan tingkat kelerengan yang relatif curam perlu memperlihatkan tingkat kerentanan lahan tersebut terhadap erosi.
            Terdapat hubungan yang erat antara tingkat erosi dan kelas kemampuan suatu bentang lahan. Kedua aspek ini harus menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan tataguna lahan agar tidak terjadi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya sehingga  menyebabkan terjadinya bahaya erosi.
Dalam penelitian ini pendugaan erosi dilakukan dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) dengan menggunakan parameter: erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang lereng, kecuraman lereng, dan faktor pengelolaan lahan. Untuk menentukan jenis pengelolaan lahan perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat erosi yang diperbolehkan. Klasifikasi kemampuan lahan, laju erosi potensial dan tingkat erosi yang diperbolehkan di gunakan sebagai dasar penentuan arahan fungsi pemanfaatan lahan di wilayah DAS Girindulu yaitu untuk kepentingan budidaya atau kepentingan lindung.
Penentuan klasifikasi kemampuan lahan dilakukan dengan menggunakan metode indeks parametrik dan matching. Indeks parametrik  berupa angka nilai potensi lahan untuk penggunaan pertanian dan kehutanan yang merupakan akumulasi dari penilaian masing-masing faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman Tujuan menentukan indeks parametrik adalah untuk mengetahui nilai suatu lahan secara numerik (dengan angka) berdasar atas penilaian masing-masing parameter atau sifat tanah. Lahan yang sangat baik diberi angka indeks 100 % sedang lahan yang sangat jelek diberi angka 0 % . besarnya angka indeks adalah proporsional (ratio scale), artinya lahan yang mempunyai angka indekas 80 % adalah dua kali lebih baik disbanding dengan lahan yang mempunyai angka indeks 40 %. Untuk dapat menghasilkan nilai akhir, nilai masing-masing sifat tanah tersebut dapat dikalikan secara langsung. Metoda matching berupa pembandingan nilai faktor penghambat pada satuan unit lahan hasil observasi lapangan  dengan Tabel  3.1 berupa kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Arsyad, 1989). yang akan menghasilkan kelas kemampuan lahan sebagai dasar rekomendasi penggunaan lahan. Evaluasi kemampuan lahan dilakukan melalui penilaian parameter-parameter lahan yang menjadi faktor penghambat kemampuan lahan tersebut, faktor penghambat tersebut adalah: kemiringan lereng, kepekaan erosi (erodibilitas), tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur tanah lapisan atas, tekstur tanah lapisan bawah, permeabilitas, drainase, prosentase batuan/kerikil serta ancaman banjir.
Untuk menentukan kekeliruan dalam penggunaan lahan dilakukan overlay peta kelas kemampuan lahan dengan peta penggunaan lahan. Pengelolaan lahan yang telah sesuai dengan kemampuannya direkomendasikan untuk dipertahankan penggunaannya. Untuk pengolahan lahan yang tidak sesuai akan ditentukan pengelolaan lahannya berdasarkan pertimbangan uji erosi yang diperbolehkan. Secara skematis bagan alur penelitian disajikan sebagaimana Gambar 3  berikut.












Flowchart: Document: Peta Lereng
 














                                                                                     Gambar 2.1. Bagan alur penelitian


BAB III.  METODOLOGI PENELITIAN
1.1.             Lokasi Penelitian  
Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah DAS Girindulu Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah DAS tersebut memiliki tingkat erosi yang relatif tinggi dengan kemiringan lereng mencapai > 45%. Tingginya tingkat erosi yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh faktor karakteristik DAS dan faktor iklim tetapi juga akibat pemanfaatan lahan. Wilayah tengah dan hulu DAS tersebut merupakan areal pertanian intensif berupa persawahan dan tegalan.
Kebutuhan lahan pertanian yang meningkat dan ketersediaan lahan yang terbatas menyebabkan pemanfaatan lahan untuk pertanian dilakukan tanpa pertimbangan kemampuan lahan dan tingkat erosi.  Sementara itu karakteristik fisik dan geografis wilayah yang sebagian besar didominasi oleh perbukitan dan pegunungan dengan batuan yang dangkal memerlukan pertimbangan dalam pengelolaannya.   
1.2.                 Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a.       Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1 : 25.000
b.      Peta Lereng 1 : 25.000
c.       Peta Tanah skala 1 : 90.000
d.      Peta Penggunaan lahan skala 1 : 25.000
e.       Citra satelit Quick Bird
f.       Data Curah Hujan Sub DAS Girindulu

1.3.            Alat yang digunakan dalam penelitian
a.         Komputer  dan perangkat  lunak (Arcgis 9.X)
b.         Global Positioning System (GPS)
c.         Peralatan Lapangan Untuk survei tanah
d.       Kamera Digital

1.4.         Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pola pendekatan analitik. Pengamatan intensif dilakukan pada setiap satuan lahan yang menjadi sampel area, dengan jarak observasi free survey. Dalam kegiatan penelitian ini, ada 4 tahap yang dilakukan yaitu : Tahap persiapan penelitian lapangan, tahap pengumpulan data lapangan, tahap pengolahan data dan tahap penyajian hasil penelitian.
Perkiraan jumlah erosi yang akan terjadi pada suatu lahan bila pengelolaan tanah tidak mengalami perubahan dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis yang dikemukakan oleh Wischmeir dan Smith (1978) dalam Hardjowigeno dan widiatmaka (2007) yang dikenal sebagai persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation)
Dalam kegiatan evaluasi lahan perlu dilakukan evaluasi yang berkaitan dengan bahaya erosi dan usaha-usaha pencegahan erosi tersebut. bahaya erosi adalah perkiraan jumlah tanah hilang maksimum yang akan terjadi pada suatu lahan bila pengelolaan tanah tidak mengalami perubahan. Sedangkan TBE adalah kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum atau kedalaman efektif tanahnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Besarnya kehilangan tanah akibat erosi, dihitung dengan menggunakan    rumus:    A = R. K. LS. C. P
a.   Faktor erosivitas hujan (R), dihitung dengan menggunakan rumus :
   R = 6,12 (RAIN)1,21(DAYS)-0,47(MAXP)0,53...........................     (3.1)
R               =  erosivitas hujan bulanan
RAIN        = curah hujan rata-rata bulanan (cm)
DAYS       =  banyaknya hari hujan setiap bulan (hari)   
MAX P      =  curah hujan maksimum rata-rata dalam 24 jam perbulan untuk kurun  waktu satu tahun (cm)
b. Erodibilitas Tanah (K)
K ................(3.2)
      Dimana,
     K = Erodibilitas tanah
     M = Parameter ukuran butir tanah diperoleh dengan rumus (% debu + % pasir   sangat halus) x (100-%liat) atau menggunakan Tabel 3.7.
     a  =  Persentase bahan organik (% C x 1,724)
     b  =  Kode (nilai) struktur tanah (Tabel 3.8)
     c  =  Kode (nilai) permeabilitas tanah (Tabel 3.12)
      c. Faktor Panjang dan kemiringan lereng (LS), dihitung dengan rumus  :
           LS = √L ( 0,0138+0,00965 S + 0,00138 S2 ) ......................................(3.3)
            Dimana : L = Panjang Lereng (m) dan S = Kemiringan Lereng
   d. Faktor pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi tanah (P) dengan   menggunakan nilai pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3.
2.  Erosi diperbolehkan dihitung dengan menggunakan rumus  :   
                        …………………………        (2.6)
DE             =      Kedalaman efektif tanah (cm) x nilai faktor kedalaman
DMIN       =      Kedalaman tanah minimum (cm)
T                =     Masa pakai tanah (tahun)
SF            =     Laju pembentukan tanah dalam mm.th-1 ditentukan sebesar 25   mm dengan asumsi pembentukan tanah 300 tahun
3.  CP maks dihitung dengan menggunakan rumus CP maks = ETOL / RKLS
4.  IBE (Indeks Bahaya Erosi) dihitung dengan menggunakan rumus :
           IBE =  A  /  ETOL  
Evaluasi kemampuan lahan dilakukan dengan menggunakan 2  metode, pertama adalah indeks parametrik yang dikembangkan oleh Storie (1933) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) yaitu berupa angka nilai potensi lahan untuk penggunaan pertanian dan kehutanan yang merupakan akumulasi dari penilaian masing-masing faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kedua,  adalah metoda matching dilakukan pembandingan nilai faktor penghambat pada satuan unit lahan hasil observasi lapangan  dengan Tabel  3.2 berupa Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan (Arsyad, 2006). yang akan menghasilkan kelas kemampuan lahan sebagai dasar rekomendasi penggunaan lahan.  Kriteria klasifikasi kemampuan lahan, terdiri dari beberapa faktor penghambat antara lain ; kemiringan lereng, kepekaan erosi (erodibilitas), tingkat erosi (hasil identifikasi dengan menggunakan metode USLE), kedalaman tanah, tekstur tanah lapisan atas, tekstur tanah lapisan bawah, permeabilitas, drainase, persentase batuan/kerikil dan ancaman banjir.
Indeks storie ditentukan dengan cara perkalian nilai dari masing-masing sifat tanah.
Indeks storie = R1 x R2 x R3 x  ………………Rn
R1 = nilai hasil penilaian (rating) faktor tanah ke -1
Rn = nilai hasil penilaian (rating) faktor tanah ke-n
Tabel. 3.1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan (Arsyad, 2006)
Faktor Pembatas Sifat Tanah
Kelas Kemampuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
1
Lereng Permukaan
A
B
C
D
(*)
E
F
G
2
Kepekaan erosi
KE1, KE2
KE3
KE4,KE5
KE6
(*)
(*)
(*)
(*)
3
Tingkat erosi
e0
e1
e2
e3
(**)
e4
e5
(*)
4
Kedalaman tanah
k0
k1
k2
k2
(*)
k3
(*)
(*)
5
Tekstur lapisan atas
t1,t2,t3
t1,t2,t3
t1,t2,t3,t4
t1,t2,t3,t4
(*)
t1,t2,t3,t4
t1,t2,t3,t4
t3
6
Tekstur lapisan bawah
Sda
Sda
sda
Sda
(*)
Sda
Sda
t3
7
Permeabilitas
P2P3
P2P3
P2P3
P2P3
P1
(*)
(*)
P5
8
Drainase
d0/d1
d2
d3
d4
(**)
(*)
(*)
(*)
9
Kerikil/batuan
b0
b0
b1
b2
b3
(*)
(*)
b4
10
Ancaman banjir
O0
O1
O2
O3
O4
(*)
(*)
(*)
Sumber : Arsyad (2006)
Catatan  :
(*)        :  Dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat
(**)      :  Permukaan tanah selalu tergenang air
Kriteria masing-masing faktor pembatas yang digunakan dalam analisis klasifikasi kemampuan lahan disajikan pada tabel-tabel berikut :
Tabel 3.2. Penilaian Kelas Lereng (LS)
Kemiringan (%)
Topografi
LS
Nilai(%)
0 –       0 – 8
Datar – Landai
0,25
95-100
8 – 15
Landai – Agak Miring
1,20
85-95
15 – 25
Agak Miring – Miring
4,25
70-80
25 – 45
Miring – Agak Curam
9,50
30-50
> 45
Curam – Sangat Curam
12,00
5-30
Sumber : Arsyad (2006)

Tabel 3.3. Klasifikasi Kepekaan Erosi (KE)
Kode
Klasifikasi
Nilai K
KE1
Sangat Rendah
0,00 – 0,10
KE2
Rendah
0,11 – 0,20
KE3
Sedang
0,21 – 0,32
KE4
Agak tinggi
0,33 – 0,43
KE5
Tinggi
0,44 – 0,55
KE6
Sangat Tinggi
0,56 – 0,64
Sumber : Arsyad (2006)

Tabel 3.4. Klasifikasi Tingkat Erosi
Kelas
Kisaran
Nilai(%)
e0
Tidak ada erosi
100
e1
Erosi ringan, kurang dari 25% lapisan tanah atas hilang
95
e2
Erosi sedang, 25 – 75 % lapisan tanah atas hilang
80
e3
Erosi agak berat, lebih dari 75% lapisan atas hilang atau kurang dari 25 % lapisan bawah hilang
60
e4
Erosi berat, lebih dari 25 % lapisan bawah hilang
50
e5
Erosi sangat berat, erosi parit
40
Sumber : Hardjowigeno dan widiatmaka (2007)
Tabel 3.5. Klasifikasi Kedalaman Tanah Efektif
Kode
Kelas
 kedalaman(cm)
Nilai (%)
K0
Dalam
< 90
40-50
K1
Sedang
50 – 90
30-40
K2
Dangkal
25  50
20-30
K3
Sangat Dangkal
< 25
5-20
Sumber : Hardjowigeno dan widiatmaka, (2007)
Tabel 3.6. Klasifikasi Tekstur Tanah
Kelas
Kisaran
Nilai (%)
t1
Tanah bertekstur halus meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu dan liat
100
t2
Tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat, lempung liat berdebu
85
t3
Tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung berdebu dan debu
70
t4
Tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus.
80
t5
Tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir.
60
Sumber : Hardjowigeno dan widiatmaka, (2007)






Tabel 3.7.Penilaian ukuran butir (M) untuk digunakan dalam rumus (Hammer,1878)

Kelas Tekstur
(USDA)
Nilai
Kelas Tekstur
(USDA)
Nilai
Liat berat
210
Pasir
3035
Liat sedang
750
Lempung berpasir
3245
Liat berpasir
1213
Lempung liat berdebu
3770
Liat ringan
1685
Pasir berlempung
4005
Lempung liat berpasir
2160
Lempung
4390
Liat berdebu
2830
Lempung berdebu
6330
Lempung berliat
2830
Debu
8245
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka, (2007)

Tabel 3.8. Penilaian Struktur Tanah (Hammer, 1978)
Tipe Struktur
Nilai
Granular sangat halus
1
Granular halus
2
Granular sedang dan kasar
3
Gumpal lempeng,pejal
4
Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Tabel 3.9. Klasifikasi dan Kriteria Drainase Tanah
Klas
Kode
Kriteria
Nilai (%)
Baik
d0
Tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai kebawah (150 cm) berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu
100
Agak baik
d1
Tanah mempunyai peredaran udara baik didaerah perakaran, tidak terdapat  bercak-bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari permukaan tanah).

80-90
Agak buruk
d2
Lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik dan tidak terdapat bercak-beercak berwarna kuning coklat atau kelabu. Bercak-bercak ini terdapat pada seluruh lapisan bagian bawah (sekitar 40 cm dari permukaan tanah)

40-80
Buruk
d3
Bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kekuningan, coklat atau kelabu.

10-40
Sangat buruk
d4
Seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang dipermukaan tanah dalam waktu yang sama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.

Bervariasi
Sumber: Sitorus, (1998)
Tabel. 3.10. Klasifikasi Persentase Kerikil
Kelas
Kode
Nilai (%)
Tanpa-Sedikit
Bo
0 – 15
Sedang
B1
15 – 50
Banyak
B2
50 – 90
Sangat Banyak
B3
> 90
Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Tabel. 3.11. Klasifikasi Persentase Batuan
Kelas
Kode
Nilai (%)
Tanpa
Bo
> 0,01
Sedikit
b1
0,01 – 3
Sedang
b2
3 – 15
Banyak
b3
15 – 90
Sangat Banyak
b4
> 90
Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Tabel 3.12. Penilaian Permeabilitas tanah (Hammer, 1978)
Kode
Kelas
Nilai P (cm/jam)
Nilai
P1
Sangat Lambat
< 0,5
6
P2
Lambat
0,5 – 2,0
5
P3
Sedang – Lambat
2,0 – 6,3
4
P4
Sedang
6,3 – 12,7
3
P5
Sedang – Cepat
12,7 – 25,4
2
P6
Cepat
>25,4
1
Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Analisis kemampuan lahan dalam penelitian ini menggunakan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Sistem klasifikasi ini membagi lahan kedalam sejumlah kategori yang diurutkan menurut jumlah dan intensitas faktor penghambat yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, dari kategori tertinggi ke kategori rendah.
1.4.1.   Tahap Persiapan
Tahap persiapan adalah pekerjaan yang dilakukan sebelum pekerjaan lapangan atau pengumpulan data lapangan. Pada tahap persiapan ini jenis pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.             Studi atau telaah pustaka dengan mempelajari buku-buku referensi dan data sekunder berupa hasil-hasil penelitian terdahulu, yang ada hubungannya  dengan masalah penelitian.
2.             Orientasi lapangan untuk mempelajari secara umum tentang daerah penelitian.
3.             Pengumpulan data dan informasi di instansi-instansi terkait tentang keadaan daerah penelitian, berupa peta-peta tematik, citra satelit, data klimatologi dan curah hujan, informasi kependudukan dan informasi lain yang dipandang perlu.
4.             Membuat peta kerja lapangan dalam bentuk Peta Satuan Lahan skala           1 : 25.000, dengan cara overlay : Peta RBI, Peta Tanah, Peta Lereng, Peta Penggunaan Lahan, Peta Kawasan Hutan (TGHK), lalu menentukan satuan-satuan lahan yang menjadi sampel area dan data yang dibutuhkan dalam survei lapangan, dan pengamatan secara intensif akan dilakukan pada sampel area tersebut.
5.             Bahan perlengkapan survei berupa : Larutan peroksida (H2O2 10 %) untuk identifikasi kandungan bahan organik, Larutan larutan asam klorida (HCL 2 %) untuk identifikasi kandungan kapur, kartu deskripsi lahan dan tanah, kantung plastik bening untuk tempat contoh tanah terganggu untuk analisis tekstur dan kandungan bahan organik,  dan label sampel tanah
6.             Buku Munsell Soil Colour Chart, pH lakmus, Kompas, Abney level, GPS, Auger/Bor Tanah, ATK, Pisau Lapang, parang, pacul, roll meter, buku panduan pengamatan profil tanah di lapangan yang dikeluarkan oleh lembaga Guideline for Soil Descripsion, dan keperluan survei lapangan lainnya. kartu deskripsi pengamatan di lapangan sebagai pedoman dalam pengamatan survei lapangan, peralatan tulis menulis, Buku Klasifikasi Tanah PPTA (1993)
7.             Mengurus dokumen yang akan digunakan pada pekerjaan lapangan yaitu surat pengantar  dan surat ijin penelitian.
1.4.2.      Tahap  penelitian  dan pengumpulan data lapangan
Pada Tahap penelitian lapangan jenis pekerjaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1.                  Melakukan koreksi terhadap peta-peta tentatif sesuai dengan kondisi di lapangan.
2.                  Pengecekan kebenaran batas satuan lahan yang telah dibuat, dan jika ditemui kesalahan, pembetulan dilakukan di lapangan. pengamatan intensif dilakukan pada setiap satuan lahan yang menjadi sampel area.
3.                  Mengumpulkan data primer dengan cara melakukan pengamatan dan pengukuran lapangan terhadap parameter-parameter  lahan. Yang termasuk dalam klasifikasi data primer tersebut adalah : kemiringan lereng, kedalaman tanah, sturuktur tanah, prosentase batuan/kerikil, ancaman banjir, kondisi penggunaan lahan dan kondisi tindakan konservasi tanah.
4.                  Melakukan pengambilan sampel tanah sebagai bahan analisis laboratorium. Sampel tanah tersebut terdiri dari sampel tanah terusik untuk analisis tekstur dan bahan organik serta sampel tanah tidak terusik untuk analisis permeabilitas dan berat volume tanah.
5.                  Pengukuran kemiringan dan panjang lereng , serta pengamatan penggunaan lahan dan jenis vegetasi yang ada di daerah penelitian. 
6.                  Deskripsi sifat lahan dan sifat tanah melalui pemboran dan pembuatan profil tanah pewakil untuk mengidentifikasi seberapa jauh peranan faktor dan proses pembentukan tanah dan proses terjadinya erosi di daerah penelitian.
7.                  Pemboran tanah dilakukan sedalam 120 cm dan pembuatan profil pit pewakil sedalam 150-200 cm atau sampai lapisan bahan induk. Sifat-sifat yang diamati adalah tekstur tanah, struktur tanah, konsistensi tanah, warna tanah, kedalaman tanah.

1.4.3.      Tahapan Analisis Tanah di Laboratorium
Pada tahap ini jenis pekerjaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Uji penetapan tekstur tanah terhadap sampel tanah komposit yang telah dikumpulkan di lapangan.
2.      Uji penetapan bahan organik terhadap sampel tanah sebagai salah satu masukan dalam penentuan faktor erodibilitas tanah.
3.      Uji penetapan permeabilitas tanah terhadap sampel tanah yang diambil dengan menggunakan ring permeabilitas.
3.4.4.      Tahap Penyajian Hasil Penelitian
  Hasil penelitian disajikan berupa naskah laporan hasil penelitian  berupa tesis menyangkut informasi pendugaan erosi dan evaluasi kemampuan lahan,  diwilayah  DAS Girindulu. Sasaran pokok rekomendasi adalah wilayah dimana terdapat ketidaksesuaian penggunaan lahan dan kelas kemampuan lahannya (miss use) serta pertimbangan tingkat erosi yang terjadi.





DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Kerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Asdak, C., 2007. Hidrologi dan Penglolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Aziz S, 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Pendugaan Erosi untuk Arahan Pemanfaatan Lahan Di Sub DAS Juwet dan Dondong, Gunung Kidul yogyakarta. Thesis. Program Studi Geografi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Christady H.,2007. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Departemen Kehutanan, Ditjen RRL, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Departemen Kehutanan, Jakarta
Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroo, M. Rusdi Saul, M. Amin Diha, Go Ban Hong dan H. Bailey. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Hardjowigeno, S. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Medyatama Sarana Perkasa  Jakarta.
Hardjowigeno, S, dan S. Sukmana, 1995. Menentukan Tingkat Bahaya Erosi. Second Land Resource Evaluation and Planning Project. ADB Loan. No.1099 INO. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hardjowigeno,   2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Penerbit IPB, Bogor.
Hardjowigeno, S.,Widiatmaka, 2007, Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hudson, N., Soil Conservation, B.T. Bastford, London, 1971.
Kartasapoetra, G., A.G., Kartasapoetra, dan M.M., Sutejo, 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kelima. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Klingebiel, A.A., and P.H. Montgomery. 1961. Land Capability Classification. Agric. Handb. No.210, SCS-USDA, Washington.
Paul A. DeBarry., 2004. Watersheds: Processes, Assessment, and Management. Published  simultaneously in Canada.
Sarief, S. E., 1985. Konservasi tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung.
Seta, A. K., 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta.
Sitorus, S.R.P. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. PT. Tarsito, Bandung.
Soelistyowati H dan Hadi. H., 2008. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Sebuah Pendekatan Negosiasi, Insist Press, Yogyakarta. 
Suripin, 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Susanto S.,2008. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bahan Pembelajaran Mata Kuliah Program Magister Ilmu kehutanan. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Sys, C.E. Van Ranst and J. Deveveye. 1991. Land Evaluation, Part II Methods In Land Evaluation. Agricultural Publication, Belgium.
Wood, S.R. and F.J. Dent. 1983. LECS. A Land Evaluation Computer System Methodology. Centre for Soil Research, Bogor.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar